Berilmu untuk beramal

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Kebersamaan akan melahirkan sebuah kekuatan

caturrinistories@gmail.com

Perjuangan meraih S.Farm

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Tuesday 17 October 2017

Memeluk Angin (3)

Bel masuk telah berbunyi hingga membuatku harus segera menghabiskan mie beserta kuahnya hasil dari kebaikan dhela yang mau berbagi dengan seorang yang sejatinya telah makan nasi. Kali ini pelajaran IPS yang masuk pelajaran favorit dengan guru yang asyik dan satu hal lagi yang membuatku senang karena dia adalah satu-satunya pelajaran yang aku dan teman-temanku tak pernah melakukan praktek contek-mencontek. Maklumlah karena semua pelajaran yang beliau ajar sudah menjadi wajib tanpa ada praktek itu karena bagi kami itu adalah pelajaran dari seorang ibu karena beliau telah mengikuti dan memahami kami dari awal kami menginjakkan kaki di bangku sekoah menengah.
“kalian telah duduk seperti ini sudah seberapa lama?” tanya bu Niam seraya menunjuk salah salah satu dari kami yang kebetulan dia ketua kelas di tahun kedua kami.
“Satu semester bu kayaknya” sang pak ketuapun hanya bisa terheran-heran pertanyaan aneh yang tak lumrah ditanyakan sebelum kelas dimulai.
“baiklah sebaiknya mungkin kalian rolling tempat duduk agar kepala kalian tak terlalu noleh kanan dan tak terlalu noleh.

Tak pernah lagi aku berpikir tentangnya walau terkadang aku sadar tentangnya dengan segala tingkahnya dan aku hanya ingin menghirup angin itu tanpa perlu memeluknya erat karena sepertinya angin itu telah berjalan menuju langit. Ah sudahlah. Semua dari kami mulai berberes ke tempat-tempat yang telah ditentukan oleh ibu kedua kita. Entah angin apa kali ini yang aku hirup namun kali ini angin itu membuat aku tersedak. Dia berada tepat diurutan bangku setelahku. Hanya senyum datar yang bisa aku lakukan karena terbaca dalam mukanya dia pasti akan mulai dengan kejahilan kreatifnya lagi.
*butuh inspirasi lebih untuk menyelesaikan ini. segini dulu aja

Wednesday 18 January 2017

(Bisakah) Membangun Generasi yang Cerdas dan Beridentitas?


Apa lagi ini? Diskriminasi bentuk apalagi ini? Mungkin salah satu ekspresi kalimat yang lumrah atas sebuah perubahan baru dan perlakuan yang ‘terlihat’ tak setara atas suatu kedudukan yang ‘terlihat’ sama. Namum semua itu bukan masanya lagi jalan di tempat dan meratap atas sebuah perubahan yang mungkin hanya karena kita belum terbiasa. Kini hanya perlu melangkah walau dengan langkah-langkah kecil agar selalu berjalan dengan raihan-raihan  emas yang tak kasat mata untuk masa depan.
Bagiku ini pemberian sebuah identitas pada seorang anak yang baru terlahir walau ‘sedikit’ terlambat. Mungkin kita bisa melihat ke masa lalu, bukankah dulu saat Gontor Purti berdiri dia tak serta merta mendapatkan dengan kekhasannya yaitu kerudung putih dengan design elegannya? Dia melalui proses trial and errornya. Menurut cerita, dulu mereka pernah menggunakan kerudung berwarna-warni lalu setelah itu hanya warna tertentu yang diperbolehkan hingga akhirnya dia mulai menemukan corak yang menurutnya pas untuk digunakan menjadi sebuah identitas.
Hingga lahir anak perempuan yang baru yang juga lahir dari ibu yang sama dalam tingkat perguruan tingginya dengan gelar ‘full time student’nya. Sistem dan pergerakan yang terus dibentuk serta pencarian sesuatu yang disebut sebagai sebuah identitas atau tanda pengenal terus digali. UNIDA Kampus Putri pun telah melalui apa yang namanya trial and errornya. Menurut pengalaman, saat ditahun pertama kami pernah mendapat kerudung krem namun belum standart namun setelah melalui diskusi panjang akhirnya kami kembali ‘meminjam’ identitas saudara sekandung kami. Setelah itu ada masa dimana kami menunggu identitas kami muncul hingga akhirnya pin berlambang unida pun muncul dan berakhir setelah identitas baru kami lahir.
Banyak pertanyaan yang muncul, kenapa mereka tidak berganti juga? Apa identitas mereka yang jau disana dengan gelar sama yang disandangnya dengan kami? Aku mencari-cari dan bertanya pada diri sendiri banyak sangkalan dan pembetulan yang muncul dan berkecamuk bahkan hingga masuk ke dalam mimpi (hahaha maaf alay tapi nyata). Jawaban-jawaban yang mungkin terkadang terlihat mengada-ada, jawaban dari karena mereka masih terikat sampai pada tempat main yang berbeda muncul ada ‘dugaan’ atas jawaban.
Namun sudahlah terlalu indah kehidupan ini bila dilihat ‘hanya’ dalam satu sisi saja. Kini kita sudah beridentitas, lalu bisakah kita menjadi generasi yang cerdas? Ini bukan tentang angkatan tapi ini tentang apa yang akan kita sandang dan labelkan pada kehidupan kampus kita. Jika kita ingin menjadi sebuah kebanggaan maka kita harus bisa membangun kebiasaan/adat yang baik, mengatur seluruh langkah kita dan meminimalisir adat yang buruk dengan mengadakan kegiatan bersifat kebersamaan agar seluruhnya dalam rel yang sama dan untuk meminimalisir orang-orang yang keluar rel. Kita hidup dalam suatu rumah yang setiap harinya ada kereta lewat namun kita akan tetap tidur dengan tenang walau kereta lewat karena kita tahu kereta itu ada lintasannya.  

Maka jangan sampai menjadi generasi yang turun kualitasnya karena pola pikir pragmatis. Jangan menjadi generasi suka mengeluh yang selalu merasa paling terjatuh. Jangan jadi generasi yang bertindak tanpa sebuah analisa. Bila ada yang menjatuhkan maka bangkitlah. Bila ada yang mencela cernalah dan analisalah pasti akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir. Bukankah seorang mahasiswi itu belajar dalam taraf analisa? Bukankah seorang mahasiswi itu bisa menjabarkan yang pendek dan meringkas yang panjang? Maka jika mereka tak menjelaskan maka cari jawaban dalam diri atau sekitar karena pasti ada jawabnnya dalam diri dan sekitar kita namun terkadang kita pura-pura tak mengenal saat jawaban itu bertandang. Maka jadilah mahasiswi yang terus berkarya dan meneliti karena dengan meneliti, lahirlah karya pengabdian, dan bermunculanlah tunas tunas baru ilmu pengetahuan dan maka jadilah ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Serta ingat setiap pundak kita, kita membawaa nama kita, almamater, bangsa dan agama kita.
#wallahua'lambishowab#ussikumwaiyyayanafsi

Monday 2 January 2017

Kenapa? (Menelaah kembali 1)

Dalam dunia ku dan dunia mu yang bernama dunia pesantren mungkin terdapat banyak hal yang tak dapat terdefinisikan dan sulit untuk diterjemahkan. Karena kalangan yang pernah menginjak dunia pesantren saja terkadang masih minim pemahaman apalagi untuk kalangan umum. Namun begitulah dunia kita, penuh dengan hikmah yang tak kasat mata. Melihat dari hal kecil dan pertama kali aku selalu pertanyakan saat menginjak dunia itu di instansi tertentu. Terkadang aku sendiri bertanya, kenapa kata ‘keadilan’ tidak ada dalam sintesa pondok? Kenapa dia tidak ada di dalam panca jiwa? Lalu kalau kita mau memandang lebih luas lagi, kenapa dalam pancasila keadilan dinomor akhirkan, kenapa tidak ditengah atau dinomor awal? Banyak pertanyaan yang muncul dan itu semua pernah muncul dalam benakku sendiri karena saat itu aku belum memiliki kapasitas untuk memahami, aku masih belum bisa tuk mengerti dan pasti saat itu tak mengetahui proses yang telah dijalani untuk mencapai pada titik itu. Aku disaat itu hanya seorang yang buta, hanya bermodal lilin kecil yang mungkin saja lilin kecil itu bisa membakar diriku sendiri sewaktu-waktu. Aku disaat itu hanya seorang yang memiliki pemikiran praktis dan realistis dengan zaman yang pernah aku jalani. Namun akhirnya jawaban itu datang saat Pekan Perkenalan Khutbat-l-‘Arsy yang ada di setiap awal tahun.
Saat aku menginjak bangku perkuliahan saat ada orang yang bertanya dengan yang sama atas apa yang aku pertanyakan dulu, tiba-tiba teringat kalimat,” Quis custodiet ipsos custodes? siapa yang mengawasi pengawas?” dari novel Digital Fotress yang pertama kali aku baca saat duduk dibangku sekolah menengah. Ternyata bermakna dalam dan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa orang yang belum memahami maknanya tapi aku tak menyalahkan orang yang belum paham itu. Dilema memang mengingat kalimat bahwa tak ada manusia yang sempurna. Namun semua itu kembali pada kesadaran setiap manusia karena hidup layaknya mengayuh sepeda kalau kita berhenti maka akan jatuh. Semua manusia memiliki pertanggungjawaban kehidupan dan memiliki catatan baik-buruk, hitam-putih dan sebagainya. Lantas sampai kapan dan bagaimana seorang pengawas harus diawasi? Tentunya seorang pengawas diawasi dengan aturan Allah sang pemilik alam ini yang Maha Adil.
Lalu bagaimana saat kita ingin melihat keadilan yang nyata? Mari kita menelaah kembali apa makna adil itu sendiri (lihat http://caturrinihistories.blogspot.co.id/2016/03/mencoba-mencari-makna-adil.html)
Lalu saat kita sudah mengetahui makna adil (baca:hak) lantas sudah sejauh manakah kita menjalankan kewajiban?  Lantas saat kita sudah mulai bertanya, apakah orang lain telah melakukan hal yang sama, apakah kita sudah bertanya pada diri kita kebaikan yang kita lakukan sebenarnya untuk siapa? Untuk orang lainkah atau untuk diri sendirikah atau mungkin untuk kepentingan bersama? Lantas apakah harus menunggu sempurna untuk mengingatkan sesama? apakah orang yang mempunyai banyak dosa, lantas gugur sudah kewajibannya untuk menasehati orang? Insya' Allah tidak karena mengingkatkan sesama adalah kewajiban dari setiap saudara seiman.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).


Kita mungkin pernah mengalami fase merasa paling sengsara yang mana hingga terkadang kita lupa bersyukur dan hanya melihat kehidupan dari satu sisi saja. Padahal dunia ini terlalu indah untuk hanya dilihat dari satu sisi. Maka saudariku sebaiknya kita mulailah berhati-hati dalam menerka sebuah kalimat. Mulailah menganalisa dan bertanya pada hati kecil kita agar kita tak tersesat karena ego yang menguasai akal sehat dan nafsu belaka. Mungkin kesadaran perlu dihidupkan karena ada hal yang dilakukan demi maslahah (kebersamaan) yang mana sebuah maslahah itu adalah hal yang sangat mahal dan tak terbeli.

Wednesday 10 August 2016

Belum Indah Belum Berakhir

Heran dengan apa yang dijalani sekarang. Rasa tak percaya terlalu sering hinggap dalam benak padahal tahun ini sudah menginjak tahun ketiga di bangku kuliah dengan gelar Mahasiswa. Kata kenapa pun juga masih sering terlintas. Kenapa aku bisa jadi mahasiswi farmasi? Kenapa aku bisa memilih untuk terus berjalan disini? Kenapa aku tak mengejar apa yang sebenarnya aku senangi? Padahal  ‘mungkin’ akan lebih asyik saat aku bisa menekuni apa yang aku senangi. Plan A,B, C bahkan sampai Z ‘sepertinya’ banyak datang silih berganti.  Istirahat setahun sebelum kuliah lagi dengan mengambil jurusan teknik dulu menjadi pilihan utama tapi apalah daya orang tua lebih ikhlas jika anaknya ada dalam lingkungan pesantren walau diperguruan tinggi  A (ya sudahlah bagiku kayaknya kalo dapet orang teknik lumayan nih meleset-meleset dikit, sambil tersenyum licik ajah.*kidding).
Kita memang tak pernah tahu masa depan namun yang kita tahu sekarang adalah berbuat yang terbaik untuk hari ini karena masa depan dimulai dari apa yang kita lakukan sekarang. Hingga akhirnya aku harus terus sibuk dan bergerak dengan menyatukan hati, otak dan harapan. Tak jarang saat bertemu kelurga atau teman pertanyaan ‘emang bisa? Dari pondok yang belajar agama tiba-tiba ngambil farmasi?’ atau kalimat pertanyaan yang sedikit mengandung ejekan sering teringang menghiasi dua daun telinga. Tapi anggap mereka sebagai pemacu untuk terus maju lebih cepat karena kalau mereka bilang ‘jangan’ berarti itu batasan mereka tapi bukan kita. Mungkin kalimat saya bangun pagi ini bukan untuk menyenangkan anda terlihat terlalu individualis. Tapi itu bisa menjadikan hidup dengan lingkungan sedemikian terlihat ringan but with  a beautiful step.

Hidup yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta ini hanya sekali maka hiduplah sekali yang punya banyak arti bukan hanya berarti. Karena semua yang digariskan oleh-Nya pasti ada maksud tersirat. Tidak ada yang tidak berguna namun yang ada hanya kita belum tahu gunanya. Tidak ada yang tidak berguna tinggal kita mau tidak mencari gunanya (jadi inget tulisan dosen anatomi pas semester 1 kemarin https://rofidalathifah.wordpress.com/2012/02/06/it-called-destiny-1/ ).Layak halnya mempelajari jurusan yang tak pernah menjadi idaman. Belajar dengan sungguh-sungguh tak ada ruginya. Lautan ikhlas harus tetap menjadi tampungan yang luas. Karena badai akan lebih kencang menerpa saat menuju pulau bayangan. Bismillah. lillah

Saturday 7 May 2016

Sang Angin?

Sang angin sempat mengusik kembali dengan liukan debu dan dentingan kerikil
Hingga mata terusik dan kegeliasahan mulai berbisik
Akankah dia akan menjadi sang angin lagi
Padahal  sang fajar siap menyingsing
Tuk selamatkan hati yang jatuh dalam tumpukan salju
Ah.. mungkin sang angin layaknya fatamorgana di tengah lautan pasir
Tak tergapai bila tak mendekat dan tak nyata bila mendekat
Mungkin ini estimasi yang tak kan berakhir
atau hanya sekedar bisikan yang terharap walau tak sengaja terucap
Mungkin aku harus kembali pada sang mentari
yang akan bermetamorfosis menjadi bulan yang membawa gemerlap bintang
Mungkin dunia tak akan berjanji tentang aku dan sang angin
Dan mungkin dunia juga tak akan mengerti saat aku memeluk sang mentari 
Ah... sudahlah sang angin membuatku mengandai tanpa pernah usai


Wednesday 16 March 2016

Mencoba Mencari Makna Adil

Lebaran itu.. moment yang selalu aku tunggu. Moment yang semua keluarga berkumpul, safari ke tempat tetangga bareng-bareng. Hampir lengkap semuanya  kecuali satu, kakak laki-laki ku yang dulu hobinya tidur diwaktu yang tidak tepat tapi untunglah sekarang sudah sembuh dia dan aku lebih suka dia yang sekarang.
Beberapa tahun yang lalu, mungkin saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku menemukan satu pelajaran yang ‘selalu’ tersirat dalam keluargaku. Saat tetangga yang juga saudara (ah sepertinya semua tetanggaku masih terhitung saudara dengan silsilah dan tingkatan masing) memberiku uang kertas bergambar Soekarno-Hatta sambil berkata “dibagi sama kakaknya ya” dan aku hanya iya iya saja.
Saat di jalan aku membuka percakapan
A: “mbak aku dapet uang 100 tadi ntar separo-separo ya biar adil”.
K: “adil itu berapa-berapa berarti?”
A: “50 50 lah berarti”
K: “ gak adillah”
A: “lah yang namanya adil itu harus sama kan?”
K: “ hahah, sepertinya kurang tepat kalo definisi adil itu sama, adil itu sesuai dengan kebutuhan. Sekarang kebutuhan yang gede sama yang kecil banyakkan mana? Yang gede kan? jadi ibaratnya pembagian itu adilnya 70 30 lah”
Aku hanya diam gak punya kata. Padahal biasanya gak abis akal aku buat ngejawab omongan siapapun yang menurutku kurang tepat atau kurang masuk akal bagiku. Tapi saat itu aku hanya diam dan selalu aku merenungi dan menelisik kata yang terlontar karena pasti ada maksud tersiratnya. Sudah terlalu biasa mengais sendiri hikmah dalam sebuah kalimat karena mungkin memang tak ada moment yang dimana kita duduk bersama secara lengkap dan mengobrolkan hal-hal yang terkadang sering dibahas tetang keluarga seperti tempat sekolah lanjutan, keadaan sekolah atau lingkungan dan lainnya. Orang tua selau menyerahkan penuh pada anak-anaknya dengan meninggalkan beberapa saran untuk masuk kedalam kategori layak direnungi.
Hingga aku kini kembali kedalam definisi adil yang selalu menjadi sesuatu kata dengan seribu makna tak ada yang tahu pasti. Tapi lumayan masuk akal bagiku walau mungkin kisah itu akan membuat orang mengernyit dan berkata “ah itu akal-akalan seorang kakak kepada adiknya. Namun kini aku sedikit menerka, bila definisi adil itu harus sama, maka mungkin Tuhan tak adil karena manusia tidak semua bahagia, tidak semua manusia kaya, tidak semua manusia pintar.
Karena hasil terka dan pertapaan makna ‘adil’ itu. Bahwa semua ada kadarnya tapi mungkin perlu catatan bila kita berbincang soal hukum khususnya agama karena kadar mereka telah ada dan tertulis jelas dalam setiap buku panduan kehidupan.

 #wallahu'alambishowab

Saturday 23 January 2016

Memeluk Angin (2)

“aku kemarin kena lagi sama Pak Roby” sahabatku memulai bercerita kronologi di pagi buta itu
“kenapa?” aku hanya menimpali sekenanya sambil memesan dua porsi nasi pecel dan dua gelas minuman sachet, “kamu mau gorengan?” sela ku sebelum echa melanjutkan ceritanya.
“terserah” jawabnya singkat dengan memasang wajah kesal lengkap dengan tanduk di atasnya dan aku hanya meringis sambil membawa semua pesanan untuk menghampirinya.
“jangan ditekuk itu muka, lanjutin ceritanya aku udah siap nih jadi pendengar setia” kataku sambil menghidangkan menu santapan rutin pilihanku saat di sekolah.
Sambil membenarkan posisi duduknya akhirnya echapun menarik napas panjang dan memulai lagi ceritanya.
“aku dipanggil lagi gara-gara ketahuan gak pakek kaos kaki sekolah”
Hampir saja aku menjadi dukun dadakan saat itu juga. Tapi ternyta echa masih beruntung dia tak menjadi pasien dukun hari ini karena aku masih sempat menelan minumku sebelum terjadi itu.
“ah aku kira masalah sebesar gunung yang mau meledak. Ternyata masalah yang udah jadi makanan teman-teman kita lainnya” ujarku sambil menahan tawa yang akhirnya meledak juga.
“huft, mungkin kali ini aku terlalu sial, kamu gak liat kemarin aku di kelas mulu” echanpun mulai kesal lagi
“iya aku liat, kamu kemarinkan gak kemana gara-sepatu mu di musiumin di kantor kan?” jawabku sesantai mungkin.
“bukan cuman itu hukumannya, setiap abis pulang aku harus bersihin kamar mandi dan juga aku harus berangkat sepagi mungkin untuk ikut anak-anak petugas keamanan sekolah bertugas selama seminggu” mendengar itu tawaku jadi mulai mereda dan berubah menjadi sedikit iba
“ya...  jadi aku pulang pergi sekolah sendiri dong seminggu ini” kataku masih dengan nada mengejek
“terserahlah, kamu terlihat bahagia sekarang” balasnya dengan wajah besungut-sungut
“sudahlah, semuanya dijalani saja, bagiku nakal itu wajar pada usia kita, asal nakalnya masih dalam batas wajar dan batas orang cerdas, oke?” kataku sambil membiarkan jempolku muncul di depan muka echa. Tapi malah meninggalkanku untuk mencuci tangannya di kran dan akupun tak peduli dengan itu. Karena jawaban dia itu oke.
Waktu istirahat hampir usai akupun mulai meninggalkan kantin dengan membawa satu cup mie instan titipan dhela. Mungkin memang naas hari ini saat keluar dari kantin aku tak sengaja bertemu dengannya yang menuju mushola sekolah. Saat itu juga aku serasa ingin mengihlang tapi apalah daya sudah kepalang basang di depan matanya yang terbelalak seakan terkejut bercampur kesal,
“kamu jangan makan mie, itu zat yang di sterofoamnya itu juga kamu makan nanti gak sehat” sambil berlalu meninggalkanku yang hanya bisa tersenyum mematung. Dalam pikiran emang peduli apa dia. Aneh.

Semakin hari dia semakin membuatku tak mengerti namun aku selalu mencoba bangun dari mimpi saat aku mulai jatuh ke dunia mimpi itu.

Tuesday 17 October 2017

Memeluk Angin (3)

Bel masuk telah berbunyi hingga membuatku harus segera menghabiskan mie beserta kuahnya hasil dari kebaikan dhela yang mau berbagi dengan seorang yang sejatinya telah makan nasi. Kali ini pelajaran IPS yang masuk pelajaran favorit dengan guru yang asyik dan satu hal lagi yang membuatku senang karena dia adalah satu-satunya pelajaran yang aku dan teman-temanku tak pernah melakukan praktek contek-mencontek. Maklumlah karena semua pelajaran yang beliau ajar sudah menjadi wajib tanpa ada praktek itu karena bagi kami itu adalah pelajaran dari seorang ibu karena beliau telah mengikuti dan memahami kami dari awal kami menginjakkan kaki di bangku sekoah menengah.
“kalian telah duduk seperti ini sudah seberapa lama?” tanya bu Niam seraya menunjuk salah salah satu dari kami yang kebetulan dia ketua kelas di tahun kedua kami.
“Satu semester bu kayaknya” sang pak ketuapun hanya bisa terheran-heran pertanyaan aneh yang tak lumrah ditanyakan sebelum kelas dimulai.
“baiklah sebaiknya mungkin kalian rolling tempat duduk agar kepala kalian tak terlalu noleh kanan dan tak terlalu noleh.

Tak pernah lagi aku berpikir tentangnya walau terkadang aku sadar tentangnya dengan segala tingkahnya dan aku hanya ingin menghirup angin itu tanpa perlu memeluknya erat karena sepertinya angin itu telah berjalan menuju langit. Ah sudahlah. Semua dari kami mulai berberes ke tempat-tempat yang telah ditentukan oleh ibu kedua kita. Entah angin apa kali ini yang aku hirup namun kali ini angin itu membuat aku tersedak. Dia berada tepat diurutan bangku setelahku. Hanya senyum datar yang bisa aku lakukan karena terbaca dalam mukanya dia pasti akan mulai dengan kejahilan kreatifnya lagi.
*butuh inspirasi lebih untuk menyelesaikan ini. segini dulu aja

Wednesday 18 January 2017

(Bisakah) Membangun Generasi yang Cerdas dan Beridentitas?


Apa lagi ini? Diskriminasi bentuk apalagi ini? Mungkin salah satu ekspresi kalimat yang lumrah atas sebuah perubahan baru dan perlakuan yang ‘terlihat’ tak setara atas suatu kedudukan yang ‘terlihat’ sama. Namum semua itu bukan masanya lagi jalan di tempat dan meratap atas sebuah perubahan yang mungkin hanya karena kita belum terbiasa. Kini hanya perlu melangkah walau dengan langkah-langkah kecil agar selalu berjalan dengan raihan-raihan  emas yang tak kasat mata untuk masa depan.
Bagiku ini pemberian sebuah identitas pada seorang anak yang baru terlahir walau ‘sedikit’ terlambat. Mungkin kita bisa melihat ke masa lalu, bukankah dulu saat Gontor Purti berdiri dia tak serta merta mendapatkan dengan kekhasannya yaitu kerudung putih dengan design elegannya? Dia melalui proses trial and errornya. Menurut cerita, dulu mereka pernah menggunakan kerudung berwarna-warni lalu setelah itu hanya warna tertentu yang diperbolehkan hingga akhirnya dia mulai menemukan corak yang menurutnya pas untuk digunakan menjadi sebuah identitas.
Hingga lahir anak perempuan yang baru yang juga lahir dari ibu yang sama dalam tingkat perguruan tingginya dengan gelar ‘full time student’nya. Sistem dan pergerakan yang terus dibentuk serta pencarian sesuatu yang disebut sebagai sebuah identitas atau tanda pengenal terus digali. UNIDA Kampus Putri pun telah melalui apa yang namanya trial and errornya. Menurut pengalaman, saat ditahun pertama kami pernah mendapat kerudung krem namun belum standart namun setelah melalui diskusi panjang akhirnya kami kembali ‘meminjam’ identitas saudara sekandung kami. Setelah itu ada masa dimana kami menunggu identitas kami muncul hingga akhirnya pin berlambang unida pun muncul dan berakhir setelah identitas baru kami lahir.
Banyak pertanyaan yang muncul, kenapa mereka tidak berganti juga? Apa identitas mereka yang jau disana dengan gelar sama yang disandangnya dengan kami? Aku mencari-cari dan bertanya pada diri sendiri banyak sangkalan dan pembetulan yang muncul dan berkecamuk bahkan hingga masuk ke dalam mimpi (hahaha maaf alay tapi nyata). Jawaban-jawaban yang mungkin terkadang terlihat mengada-ada, jawaban dari karena mereka masih terikat sampai pada tempat main yang berbeda muncul ada ‘dugaan’ atas jawaban.
Namun sudahlah terlalu indah kehidupan ini bila dilihat ‘hanya’ dalam satu sisi saja. Kini kita sudah beridentitas, lalu bisakah kita menjadi generasi yang cerdas? Ini bukan tentang angkatan tapi ini tentang apa yang akan kita sandang dan labelkan pada kehidupan kampus kita. Jika kita ingin menjadi sebuah kebanggaan maka kita harus bisa membangun kebiasaan/adat yang baik, mengatur seluruh langkah kita dan meminimalisir adat yang buruk dengan mengadakan kegiatan bersifat kebersamaan agar seluruhnya dalam rel yang sama dan untuk meminimalisir orang-orang yang keluar rel. Kita hidup dalam suatu rumah yang setiap harinya ada kereta lewat namun kita akan tetap tidur dengan tenang walau kereta lewat karena kita tahu kereta itu ada lintasannya.  

Maka jangan sampai menjadi generasi yang turun kualitasnya karena pola pikir pragmatis. Jangan menjadi generasi suka mengeluh yang selalu merasa paling terjatuh. Jangan jadi generasi yang bertindak tanpa sebuah analisa. Bila ada yang menjatuhkan maka bangkitlah. Bila ada yang mencela cernalah dan analisalah pasti akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir. Bukankah seorang mahasiswi itu belajar dalam taraf analisa? Bukankah seorang mahasiswi itu bisa menjabarkan yang pendek dan meringkas yang panjang? Maka jika mereka tak menjelaskan maka cari jawaban dalam diri atau sekitar karena pasti ada jawabnnya dalam diri dan sekitar kita namun terkadang kita pura-pura tak mengenal saat jawaban itu bertandang. Maka jadilah mahasiswi yang terus berkarya dan meneliti karena dengan meneliti, lahirlah karya pengabdian, dan bermunculanlah tunas tunas baru ilmu pengetahuan dan maka jadilah ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Serta ingat setiap pundak kita, kita membawaa nama kita, almamater, bangsa dan agama kita.
#wallahua'lambishowab#ussikumwaiyyayanafsi

Monday 2 January 2017

Kenapa? (Menelaah kembali 1)

Dalam dunia ku dan dunia mu yang bernama dunia pesantren mungkin terdapat banyak hal yang tak dapat terdefinisikan dan sulit untuk diterjemahkan. Karena kalangan yang pernah menginjak dunia pesantren saja terkadang masih minim pemahaman apalagi untuk kalangan umum. Namun begitulah dunia kita, penuh dengan hikmah yang tak kasat mata. Melihat dari hal kecil dan pertama kali aku selalu pertanyakan saat menginjak dunia itu di instansi tertentu. Terkadang aku sendiri bertanya, kenapa kata ‘keadilan’ tidak ada dalam sintesa pondok? Kenapa dia tidak ada di dalam panca jiwa? Lalu kalau kita mau memandang lebih luas lagi, kenapa dalam pancasila keadilan dinomor akhirkan, kenapa tidak ditengah atau dinomor awal? Banyak pertanyaan yang muncul dan itu semua pernah muncul dalam benakku sendiri karena saat itu aku belum memiliki kapasitas untuk memahami, aku masih belum bisa tuk mengerti dan pasti saat itu tak mengetahui proses yang telah dijalani untuk mencapai pada titik itu. Aku disaat itu hanya seorang yang buta, hanya bermodal lilin kecil yang mungkin saja lilin kecil itu bisa membakar diriku sendiri sewaktu-waktu. Aku disaat itu hanya seorang yang memiliki pemikiran praktis dan realistis dengan zaman yang pernah aku jalani. Namun akhirnya jawaban itu datang saat Pekan Perkenalan Khutbat-l-‘Arsy yang ada di setiap awal tahun.
Saat aku menginjak bangku perkuliahan saat ada orang yang bertanya dengan yang sama atas apa yang aku pertanyakan dulu, tiba-tiba teringat kalimat,” Quis custodiet ipsos custodes? siapa yang mengawasi pengawas?” dari novel Digital Fotress yang pertama kali aku baca saat duduk dibangku sekolah menengah. Ternyata bermakna dalam dan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa orang yang belum memahami maknanya tapi aku tak menyalahkan orang yang belum paham itu. Dilema memang mengingat kalimat bahwa tak ada manusia yang sempurna. Namun semua itu kembali pada kesadaran setiap manusia karena hidup layaknya mengayuh sepeda kalau kita berhenti maka akan jatuh. Semua manusia memiliki pertanggungjawaban kehidupan dan memiliki catatan baik-buruk, hitam-putih dan sebagainya. Lantas sampai kapan dan bagaimana seorang pengawas harus diawasi? Tentunya seorang pengawas diawasi dengan aturan Allah sang pemilik alam ini yang Maha Adil.
Lalu bagaimana saat kita ingin melihat keadilan yang nyata? Mari kita menelaah kembali apa makna adil itu sendiri (lihat http://caturrinihistories.blogspot.co.id/2016/03/mencoba-mencari-makna-adil.html)
Lalu saat kita sudah mengetahui makna adil (baca:hak) lantas sudah sejauh manakah kita menjalankan kewajiban?  Lantas saat kita sudah mulai bertanya, apakah orang lain telah melakukan hal yang sama, apakah kita sudah bertanya pada diri kita kebaikan yang kita lakukan sebenarnya untuk siapa? Untuk orang lainkah atau untuk diri sendirikah atau mungkin untuk kepentingan bersama? Lantas apakah harus menunggu sempurna untuk mengingatkan sesama? apakah orang yang mempunyai banyak dosa, lantas gugur sudah kewajibannya untuk menasehati orang? Insya' Allah tidak karena mengingkatkan sesama adalah kewajiban dari setiap saudara seiman.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).


Kita mungkin pernah mengalami fase merasa paling sengsara yang mana hingga terkadang kita lupa bersyukur dan hanya melihat kehidupan dari satu sisi saja. Padahal dunia ini terlalu indah untuk hanya dilihat dari satu sisi. Maka saudariku sebaiknya kita mulailah berhati-hati dalam menerka sebuah kalimat. Mulailah menganalisa dan bertanya pada hati kecil kita agar kita tak tersesat karena ego yang menguasai akal sehat dan nafsu belaka. Mungkin kesadaran perlu dihidupkan karena ada hal yang dilakukan demi maslahah (kebersamaan) yang mana sebuah maslahah itu adalah hal yang sangat mahal dan tak terbeli.

Wednesday 10 August 2016

Belum Indah Belum Berakhir

Heran dengan apa yang dijalani sekarang. Rasa tak percaya terlalu sering hinggap dalam benak padahal tahun ini sudah menginjak tahun ketiga di bangku kuliah dengan gelar Mahasiswa. Kata kenapa pun juga masih sering terlintas. Kenapa aku bisa jadi mahasiswi farmasi? Kenapa aku bisa memilih untuk terus berjalan disini? Kenapa aku tak mengejar apa yang sebenarnya aku senangi? Padahal  ‘mungkin’ akan lebih asyik saat aku bisa menekuni apa yang aku senangi. Plan A,B, C bahkan sampai Z ‘sepertinya’ banyak datang silih berganti.  Istirahat setahun sebelum kuliah lagi dengan mengambil jurusan teknik dulu menjadi pilihan utama tapi apalah daya orang tua lebih ikhlas jika anaknya ada dalam lingkungan pesantren walau diperguruan tinggi  A (ya sudahlah bagiku kayaknya kalo dapet orang teknik lumayan nih meleset-meleset dikit, sambil tersenyum licik ajah.*kidding).
Kita memang tak pernah tahu masa depan namun yang kita tahu sekarang adalah berbuat yang terbaik untuk hari ini karena masa depan dimulai dari apa yang kita lakukan sekarang. Hingga akhirnya aku harus terus sibuk dan bergerak dengan menyatukan hati, otak dan harapan. Tak jarang saat bertemu kelurga atau teman pertanyaan ‘emang bisa? Dari pondok yang belajar agama tiba-tiba ngambil farmasi?’ atau kalimat pertanyaan yang sedikit mengandung ejekan sering teringang menghiasi dua daun telinga. Tapi anggap mereka sebagai pemacu untuk terus maju lebih cepat karena kalau mereka bilang ‘jangan’ berarti itu batasan mereka tapi bukan kita. Mungkin kalimat saya bangun pagi ini bukan untuk menyenangkan anda terlihat terlalu individualis. Tapi itu bisa menjadikan hidup dengan lingkungan sedemikian terlihat ringan but with  a beautiful step.

Hidup yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta ini hanya sekali maka hiduplah sekali yang punya banyak arti bukan hanya berarti. Karena semua yang digariskan oleh-Nya pasti ada maksud tersirat. Tidak ada yang tidak berguna namun yang ada hanya kita belum tahu gunanya. Tidak ada yang tidak berguna tinggal kita mau tidak mencari gunanya (jadi inget tulisan dosen anatomi pas semester 1 kemarin https://rofidalathifah.wordpress.com/2012/02/06/it-called-destiny-1/ ).Layak halnya mempelajari jurusan yang tak pernah menjadi idaman. Belajar dengan sungguh-sungguh tak ada ruginya. Lautan ikhlas harus tetap menjadi tampungan yang luas. Karena badai akan lebih kencang menerpa saat menuju pulau bayangan. Bismillah. lillah

Saturday 7 May 2016

Sang Angin?

Sang angin sempat mengusik kembali dengan liukan debu dan dentingan kerikil
Hingga mata terusik dan kegeliasahan mulai berbisik
Akankah dia akan menjadi sang angin lagi
Padahal  sang fajar siap menyingsing
Tuk selamatkan hati yang jatuh dalam tumpukan salju
Ah.. mungkin sang angin layaknya fatamorgana di tengah lautan pasir
Tak tergapai bila tak mendekat dan tak nyata bila mendekat
Mungkin ini estimasi yang tak kan berakhir
atau hanya sekedar bisikan yang terharap walau tak sengaja terucap
Mungkin aku harus kembali pada sang mentari
yang akan bermetamorfosis menjadi bulan yang membawa gemerlap bintang
Mungkin dunia tak akan berjanji tentang aku dan sang angin
Dan mungkin dunia juga tak akan mengerti saat aku memeluk sang mentari 
Ah... sudahlah sang angin membuatku mengandai tanpa pernah usai


Wednesday 16 March 2016

Mencoba Mencari Makna Adil

Lebaran itu.. moment yang selalu aku tunggu. Moment yang semua keluarga berkumpul, safari ke tempat tetangga bareng-bareng. Hampir lengkap semuanya  kecuali satu, kakak laki-laki ku yang dulu hobinya tidur diwaktu yang tidak tepat tapi untunglah sekarang sudah sembuh dia dan aku lebih suka dia yang sekarang.
Beberapa tahun yang lalu, mungkin saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku menemukan satu pelajaran yang ‘selalu’ tersirat dalam keluargaku. Saat tetangga yang juga saudara (ah sepertinya semua tetanggaku masih terhitung saudara dengan silsilah dan tingkatan masing) memberiku uang kertas bergambar Soekarno-Hatta sambil berkata “dibagi sama kakaknya ya” dan aku hanya iya iya saja.
Saat di jalan aku membuka percakapan
A: “mbak aku dapet uang 100 tadi ntar separo-separo ya biar adil”.
K: “adil itu berapa-berapa berarti?”
A: “50 50 lah berarti”
K: “ gak adillah”
A: “lah yang namanya adil itu harus sama kan?”
K: “ hahah, sepertinya kurang tepat kalo definisi adil itu sama, adil itu sesuai dengan kebutuhan. Sekarang kebutuhan yang gede sama yang kecil banyakkan mana? Yang gede kan? jadi ibaratnya pembagian itu adilnya 70 30 lah”
Aku hanya diam gak punya kata. Padahal biasanya gak abis akal aku buat ngejawab omongan siapapun yang menurutku kurang tepat atau kurang masuk akal bagiku. Tapi saat itu aku hanya diam dan selalu aku merenungi dan menelisik kata yang terlontar karena pasti ada maksud tersiratnya. Sudah terlalu biasa mengais sendiri hikmah dalam sebuah kalimat karena mungkin memang tak ada moment yang dimana kita duduk bersama secara lengkap dan mengobrolkan hal-hal yang terkadang sering dibahas tetang keluarga seperti tempat sekolah lanjutan, keadaan sekolah atau lingkungan dan lainnya. Orang tua selau menyerahkan penuh pada anak-anaknya dengan meninggalkan beberapa saran untuk masuk kedalam kategori layak direnungi.
Hingga aku kini kembali kedalam definisi adil yang selalu menjadi sesuatu kata dengan seribu makna tak ada yang tahu pasti. Tapi lumayan masuk akal bagiku walau mungkin kisah itu akan membuat orang mengernyit dan berkata “ah itu akal-akalan seorang kakak kepada adiknya. Namun kini aku sedikit menerka, bila definisi adil itu harus sama, maka mungkin Tuhan tak adil karena manusia tidak semua bahagia, tidak semua manusia kaya, tidak semua manusia pintar.
Karena hasil terka dan pertapaan makna ‘adil’ itu. Bahwa semua ada kadarnya tapi mungkin perlu catatan bila kita berbincang soal hukum khususnya agama karena kadar mereka telah ada dan tertulis jelas dalam setiap buku panduan kehidupan.

 #wallahu'alambishowab

Saturday 23 January 2016

Memeluk Angin (2)

“aku kemarin kena lagi sama Pak Roby” sahabatku memulai bercerita kronologi di pagi buta itu
“kenapa?” aku hanya menimpali sekenanya sambil memesan dua porsi nasi pecel dan dua gelas minuman sachet, “kamu mau gorengan?” sela ku sebelum echa melanjutkan ceritanya.
“terserah” jawabnya singkat dengan memasang wajah kesal lengkap dengan tanduk di atasnya dan aku hanya meringis sambil membawa semua pesanan untuk menghampirinya.
“jangan ditekuk itu muka, lanjutin ceritanya aku udah siap nih jadi pendengar setia” kataku sambil menghidangkan menu santapan rutin pilihanku saat di sekolah.
Sambil membenarkan posisi duduknya akhirnya echapun menarik napas panjang dan memulai lagi ceritanya.
“aku dipanggil lagi gara-gara ketahuan gak pakek kaos kaki sekolah”
Hampir saja aku menjadi dukun dadakan saat itu juga. Tapi ternyta echa masih beruntung dia tak menjadi pasien dukun hari ini karena aku masih sempat menelan minumku sebelum terjadi itu.
“ah aku kira masalah sebesar gunung yang mau meledak. Ternyata masalah yang udah jadi makanan teman-teman kita lainnya” ujarku sambil menahan tawa yang akhirnya meledak juga.
“huft, mungkin kali ini aku terlalu sial, kamu gak liat kemarin aku di kelas mulu” echanpun mulai kesal lagi
“iya aku liat, kamu kemarinkan gak kemana gara-sepatu mu di musiumin di kantor kan?” jawabku sesantai mungkin.
“bukan cuman itu hukumannya, setiap abis pulang aku harus bersihin kamar mandi dan juga aku harus berangkat sepagi mungkin untuk ikut anak-anak petugas keamanan sekolah bertugas selama seminggu” mendengar itu tawaku jadi mulai mereda dan berubah menjadi sedikit iba
“ya...  jadi aku pulang pergi sekolah sendiri dong seminggu ini” kataku masih dengan nada mengejek
“terserahlah, kamu terlihat bahagia sekarang” balasnya dengan wajah besungut-sungut
“sudahlah, semuanya dijalani saja, bagiku nakal itu wajar pada usia kita, asal nakalnya masih dalam batas wajar dan batas orang cerdas, oke?” kataku sambil membiarkan jempolku muncul di depan muka echa. Tapi malah meninggalkanku untuk mencuci tangannya di kran dan akupun tak peduli dengan itu. Karena jawaban dia itu oke.
Waktu istirahat hampir usai akupun mulai meninggalkan kantin dengan membawa satu cup mie instan titipan dhela. Mungkin memang naas hari ini saat keluar dari kantin aku tak sengaja bertemu dengannya yang menuju mushola sekolah. Saat itu juga aku serasa ingin mengihlang tapi apalah daya sudah kepalang basang di depan matanya yang terbelalak seakan terkejut bercampur kesal,
“kamu jangan makan mie, itu zat yang di sterofoamnya itu juga kamu makan nanti gak sehat” sambil berlalu meninggalkanku yang hanya bisa tersenyum mematung. Dalam pikiran emang peduli apa dia. Aneh.

Semakin hari dia semakin membuatku tak mengerti namun aku selalu mencoba bangun dari mimpi saat aku mulai jatuh ke dunia mimpi itu.