Hari ini berdiam melihat langit sore hari di jembatan sebelah
asramaku lagi sepertinya telah menjadi ritual wajib yang harus kulakukan
disela-sela hiruk pikuk kegiatan sekolah dan asramaku yang tiada ampun
menghantui setiap harinya. Kenangan demi kenangan bebas berputar seperti film
layar lebar yang diputar hitam putih. Kangen.
Itu sindrom yang selalu aku alami dua tahun terakhir. Aku tak bisa berbuat
apa-apa untuk mengobati kangenku yang satu ini.
----
“kamu teman waktu taman kanak-kanak ku bukan?” sapa suara yang tak
asing lagi bagiku setelah aku sebulan duduk di bangku sekolah menengah
pertamaku.
Sambil membenarkan posisi duduk aku hanya mengangguk dan pertanyaan
kenapapun meluncur dari mulutku. Tapi dia hanya tertawa renyah dan
melangkahkan kaki meninggalkan tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu
bersama sahabatku itu. Iya. Siang itu sahabatku tak kunjung muncul setelah
panggilan dari kantor guru bimbingan konseling yang membuatku harus menyusuri
jalanan yang panas dan penuh debu itu hanya sendiri dengan sepeda butut yang
kubeli hasil dari tabunganku beberapa bulan yang lalu.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Mengikuti les, ekstrakulikuler
dan kelas tambahan yang memang menjadi program kelasku. Aku baik-baik saja,
hanya saja aku kini terlalu jarang untuk berinteraksi dengan keluarga. Mau diapakan
lagi saat subuh aku hanya bertemu dengan ayahku yang selalu rutin
membangunkanku saat subuh. Aku tak bertemu dengan ibu, ibu sudah pergi ke pasar
untuk menjual hasil yang ada dari sawah sendiri. “hanya sebagai sampingan dan
mencari kawan” itu yang selalu ibu katakan saat aku mulai protes karena tugas
dapur berpindah tangan kepadaku. Aku sebenarnya bukan anak tunggal tapi semua
saudaraku tak ada di rumah saat aku beranjak SMP. Maka jadilah aku anak tunggal
bayangan bagi orang tuaku yang berakibat aku tak inign berlama-lama untuk
menyinggahi rumah yang semenjak tiga belas tahun lalu ku tinggali.
Pernah sekali saat kakaku pulang karena liburan semester di
kampusnya bertanya padaku, “sebenarnya kamu jarang di rumah itu karena kamu
tidak betah bukan?”
Aku hanya mengangkat kedua bibirku dan mengecilkan sudut mata yang
selalu mendapat ejekan sipit itu sambil berlalu meninggalkan pertanyaan yang
menurutku jawabannya adalah “iya”. Aku selalu berangkat pukul setengah tujuh
tepat saat kartun kesayanganku usai tayang. Tak lebih dan tak kurang dan aku selalu
pulang menjelang maghrib dengan berbagai kegiatan yang harus aku jalani hingga
sesore itu. Ibu pernah protes dengan keadaan ku yang jarang di rumah tapi aku tetap
bersikukuh ingin melanjutkan semuanya.
Hari ini seperti biasa aku masuk kelas yang sebenarnya di dominasi
oleh kawan lamaku. Bosan tapi mungkin juga tidak. Aku anggap itu kelas reuni
yang paling tidak harus aku temui untuk tiga tahun ke depan. Dengan lemah
gemuntai aku menyusuri lorong menuju kelasku mengingat hari ini ada test IQ
yang di laksankan untuk seluruh anak baru. “Ah paling juga segitu-gitu aja”
kutuk ku dalam hati atas acara itu. Aku memang seorang yang biasa-biasa saja
diantara teman-temanku yang lain. Mereka sudah seperti langit yang tak mungkin
terjamah oleh orang bumi sepertiku.
Hingga beberapa hari setelah acara itu. Ruang guru BK pun lebih
ramai dari biasanya, siapa lagi kalau bukan anak kelas ku dan beberapa kelas
tetanggaku yang tak sabar untuk melihat hasil kerja otak mereka beberapa hari
yang lalu. Aku hanya sempat bertatap muka sekilas dengan dia tepat di
depan meja guru BK yang juga sebagai guru di kelasku. Namun aku tak peduli
dengan kehadirannya itu, aku mencoba keluar dari sesaknya ruang BK yang sudah
mulai berebut oksigen itu. Dan saat itu juga aku merasakan ada sebuah tangan
yang meraih pergelangan tanganku hingga menyelamatkanku dari kerumunan semut
itu. Belum sempat aku menyadari kejadian apa tadi. Aku sudah dijejali oleh
sebuah pertanyaan yang mebuatku hanya bisa menelan ludahku sendiri.
“berapa hasil yang kau dapat?” tanya nya seraya melepaskan
tangan yang dari tadi dia bawa keluar dari ruangan yang penuh sesak
itu.
“sembilan enam, kamu?” jawabku sambil meyodorkan kertas tepat ke
muka dia. Dia hanya tersenyum simpul sambil berkata,"sama”. Seketika
itu aku hanya menggelang-geleng tak percaya padanya. Bagaimana mungkin,
seorang yang selalu mendapat nilai sempurna tanpa pernah dia terlihat serius di
kelas. Seseorang yang semenjak taman kanak-kanak mendapat gelar bintang kelas. Mungkin
hanya orang bodoh yang percaya atas penyataannya barusan.
“aku tak percaya”, kataku dengan nada kesal dan mulai beranjak
mencari sandaran sambil mencoba untuk merenungi kertas sialan itu. Tiba-tiba
secarik kertas lain muncul di depan mataku yang membuatku sedikit terbelalak. “lihat
kalau kau tak percaya” katanya sambil mulai melepaskan secarik kertas
yang ada di tangan untuk berpindah ke tanganku. “oh” kataku padanya sambil
mengembalikan kertas sialan yang kedua itu. Memang harus peduli apa aku dan
memang apa porsiku untuk tahu? Ah sudahlah. Dia terlalu tinggi untuk mungkin ku
raih.
“ayo ke kantin, aku mau cerita” suara yang sangat aku kenal mengajak untuk menyantap sarapan setengah siangku yang selalu kulakukan setiap ibu tak meninggalkan bahan apapun untuk dimasak. Dan hanya senyum aneh yang aku tinggalkan pada dia dan teman yang ada disampingnya.
bersambung
Impossible is nothing....
ReplyDeletemaybe
DeleteKenapa nggak djadiin novel aj
ReplyDeletemasih belum bisa mencapai level itu, heheh
Deletewihh da penerus w nihhh,,,
ReplyDeletepenerus hokage? hihih
Deletehanya iseng ini