Tak pernah ku
duga, aku bisa menyelesaikan pendidikan yang berlatar belakang ‘Pesantren’.
Padahal dari orang tua ataupun sanak saudara tak ada satupun yang pernah tahu
bahkan menginjakkan kaki di pesantren apalagi ‘Pesantren Modern’. Sebenarnya
aku sudah mempunyai kemauan untuk melanjutkan pendidikanku ke pesantren setelah
SD tapi apalah daya, orang tua tak mengijinkan saat itu. Bapak hanya mengatakan
nanti saja kamu kesana setelah MTs. Padahal gurunya bapak sudah datang ke rumah
dan menyatakan siap buat nganter ke pondok yang namanya ‘Gontor’. Nama yang
asing dan aneh saat mendengarnya. Gontor? Apaan tuh? Yah walau bertanya-tanya
apaan tuh, tapi saat itu aku niat banget kesana karena beberapa cerita
selentingan yang aku dengar tentang pondok yang namanya Gontor itu.
Namun takdir
berkata lain, saat si bapak tak setuju aku melanjutkan ke pesantren ternyata
beliau sudah mempersiapkan yang lain. Aku di daftarkan kelas unggulan di SMPN
setempat padahal aku pengennya ke MTsN Kota. Yah walau memang itu SMP hitungannya
udah bergengsi di daerah kediri tapi kalau sebenernya gak pengen ya mau gimana
lagi. Akirnya aku ikut juga test itu dengan syarat aku juga boleh ikut test di
MTsN yang aku inginkan dan kalau aku diterima di MTsN itu, aku akan melepas
SMPN (kalau ketrima). Ternyata Waktu test usai keesokan harinya langsung
pengumuman penerimaan dan di hari esok juga terakhir pendaftaran ke MTsN. Entah
mungkin takdir berkata lain lagi, sebenarnya formulir sudah terbeli dan terisi
lengkap semuanya siap tinggal mengembalikan formulir saja. Tapi saat sudah siap
buat ke MTsN itu, saat itu juga semua perlengkapan itu lenyap entah kemana.
Padahal rumah sudah diacak-acak habis-habisan buat nemuin itu dokumen dan
akhirnya kalimat ‘ya sudahlah’ pun muncul karena endingnya aku diterima di SMPN
itu.
Dan waktupun
terus berjalan, setahun dua tahun di SMP saat ditanya temen.... jawabannya yang
pasti lanjut ke ‘Pondok’ tapi saat kelas 9 semua itu mulai berubah. Tak ada
lagi keinginan melanjutkan ke pondok sama sekali bahkan saat teman-teman
berkata kalau aku calon anak pondokan ada rasa dongkol yang tersimpan di hati. Saat
ketidak inginanku ini aku ungkap ke bapak, bapak langsung marah dan
mendiamkanku dua hari. Serem deh kalau sudah begitu, mending kalau marahnya
langsung ngomel-ngomel kayak ibu jadi tau apa yang harus dibenerrin. Lha ini si
bapak diem doang, jadi hidup terasa tak nyaman di rumah. Tapi entahlah kenapa
bisa berubah sedrastis itu tentang tujuan sekolahku, tapi yang pasti saat itu
tujuanku hanya SMA.
Saat selesai
UN SMP, semua teman-temanku sibuk bolak-balik ke kota untuk mengurus semua yang
dibutuhkan untuk masuk SMA-SMA bergengsi didaerah kota. Mulai dari formulir dan
perlenkapannya hingga surat rekomendasi dari DIKNAS kabupaten untuk bisa
melanjutkan di kota. Akupun juga tak ingin ketinggalan ancang-ancang dengan
daftar sebagai salah satu pencari surat rekomendasi. SMA 2 pun menjadi tujuan,
tapi saat meminta ijin pada bapak kalimat apa yang keluar?! “kalau kamu gak mau
ke Gontor kamu gak usah ke SMA kamu bolehnya masuk MAN”. Yah, it’s oke.. aku
turuti kemauan bapak dengan harus banting setir lagi ganti haluan ke MAN kota. Sebenernya
gak terlalu Interest sih karena satu almamater dengan kakak sulung dan
kakak kedua karena pasti akan dibanding-bandingkan seperti aku di SMP yang
notabene almamaternya kakakku yang ketiga but okelah yang penting gak ke
Gontor.
Ambil formulir,
isi terus di kumpulin lagi yes fix, kali ini pasti sukses sekolah di kota
hihihi... Tapi sehari menjelang ujian... saat ngobrol santai dengan ibu dan
kakak, tiba-tiba mereka menyebut lagi yang namanya ‘Pesantren’. Oh.. ternyata
ada udah di balik batu di obrolan hari itu kataku dalam hati tapi aku hanya
mencoba biasa saat itu. Sudah ngobrol kesana-kemari dan akhirnya kata itupun keluar. Kata yang membuat aku beku
sesaat, ‘Rin, sebenernya bapakmu pengen salah satu anak bapak masuk ke pondok’
nah itu kalimat yang disampaikan ibu padaku saat itu. Hanya diam yang bisa
kulakukan, ‘bapak pengen salah satu anak bapak masuk ke pondok??!’. Kata itu
terus-terusan aku olah dalam otakku, siapa lagi kalau bukan aku yang bisa
memenuhi harapannya, karena tak mungkin kan kakak-kakaku sedang mereka saja
sudah sarjana semua saat itu. Aku sebagai anak bungsu dari ke empat bersaudara
harus berpikir lagi tentang keinginanku. Apakah aku tega membiarkan begitu saja
keinginan bapak yang telah memberikan segalanya pada anaknya? Dan akhirnya
jawabannypun tidak, baiklah aku mencoba mengambil kesempatan untuk mewujudkan
salah satu harapan bapakku. Tapi masih dengan syarat, aku tetap ikut test di
MAN dan itupun disetujui.
Hari testpun
dimulai, aku mengerjakan dengan seadanya saja karena aku berpikir untuk apa aku
terlalu serius dengan ini toh aku hanya mencoba-coba. Hasil pengumumanpun bisa
dilihat online atau langsung di sekolahan tapi hari itu aku demam tinggi hingga
tak bisa melihat pengumuman itu padahal teman seperjuanganku sudah menjemput
untuk melihat pengumuman. Akhirnya aku hanya mendapat kabar kalau ternyata aku
diterima di MAN itu. Yah tapi tetap ke perjanjian awal, test itu hanya
coba-coba dan Gontorlah tempat yang akan aku pijak untuk mencari ilmu.
Memang benar tak
peduli seberapa kuatnya kita ingin dan kita tak ingin kan sesuatu. Saat Allah
berkata, jalan kita harus di situ sebagai hamba kita hanya bisa mencoba untuk menjalaninya dan
mecari jawaban kenapa Allah membuat kita harus berpijak disitu. Begitupun aku,
aku mencoba mencari jawaban kenapa Allah menempatkanku di suatu tempat yang
bernama ‘Pondok’ padahal aku sudah sempat berpikir itu bukan salah satu dari
takdirku. Mengambil setiap pelajaran atas apa yang telah terjadi, itu membuatku
berpikir lebih dalam. Bila ada keinginan harus dipikirkan apakah aku
membutuhkan. Bila ada kesalahan, bukan untuk dilupakan tapi sebagai guru untuk
masa depan dan bila ada kebahagiaan itu membuatku harus selalu bersyukur atas
apa yang Allah berikan.
0 comments:
Post a Comment