Lebaran itu..
moment yang selalu aku tunggu. Moment yang semua keluarga berkumpul, safari ke
tempat tetangga bareng-bareng. Hampir lengkap semuanya kecuali satu, kakak laki-laki ku yang dulu
hobinya tidur diwaktu yang tidak tepat tapi untunglah sekarang sudah sembuh dia
dan aku lebih suka dia yang sekarang.
Beberapa tahun
yang lalu, mungkin saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku menemukan
satu pelajaran yang ‘selalu’ tersirat dalam keluargaku. Saat tetangga yang juga
saudara (ah sepertinya semua tetanggaku masih terhitung saudara dengan silsilah
dan tingkatan masing) memberiku uang kertas bergambar Soekarno-Hatta sambil
berkata “dibagi sama kakaknya ya” dan aku hanya iya iya saja.
Saat di jalan aku membuka
percakapan
A: “mbak aku dapet uang 100 tadi
ntar separo-separo ya biar adil”.
K: “adil itu berapa-berapa
berarti?”
A: “50 50 lah berarti”
K: “ gak adillah”
A: “lah yang namanya adil itu
harus sama kan?”
K: “ hahah, sepertinya kurang
tepat kalo definisi adil itu sama, adil itu sesuai dengan kebutuhan. Sekarang
kebutuhan yang gede sama yang kecil banyakkan mana? Yang gede kan? jadi
ibaratnya pembagian itu adilnya 70 30 lah”

Hingga aku kini kembali kedalam
definisi adil yang selalu menjadi sesuatu kata dengan
seribu makna tak ada yang tahu pasti. Tapi lumayan masuk akal bagiku walau
mungkin kisah itu akan membuat orang mengernyit dan berkata “ah itu akal-akalan
seorang kakak kepada adiknya. Namun kini aku sedikit menerka, bila definisi
adil itu harus sama, maka mungkin Tuhan tak adil karena manusia tidak semua
bahagia, tidak semua manusia kaya, tidak semua manusia pintar.
Karena hasil
terka dan pertapaan makna ‘adil’ itu. Bahwa semua ada kadarnya tapi mungkin
perlu catatan bila kita berbincang soal hukum khususnya agama karena kadar
mereka telah ada dan tertulis jelas dalam setiap buku panduan kehidupan.
0 comments:
Post a Comment