Mencoba mencerna kata-kata mereka, yang terkadang menggunakan
bahasa langit sehingga harus di terjemahkan oleh sang ahli. Mencoba untuk
memahami keadaan yang terkadang langit pun ikut menangis bersama. Mencari
sandaran namun mereka malah lari tunggang langgang dan meninggalkan kami dengan
Tuhan. Tak ada yang salah karena memang tak perlu ada yang dipersalahkan. Tak perlu
terlalu berharap keajaiban akan datang karena mereka membuka mata tanpa mencoba
tuk menatap. Peraturan hanya tinggalah peraturan yang harus dijalani dari
atasan. Tuntutan hanya sekedar tuntutan tanpa ada tindakan. Dan tagihan hak pun
juga hanya tinggal tagihan tanpa ada penyelesaian. Namun terkadang aku harus
berpikir ulang saat keadaan menempatkan pada sebuah ‘keterpurukan’ bahkan
mendorongku kedalam jurang.
Sebuah peraturan yang selalu membuat pertanyaan, dalam kalimat
‘segala peraturan ada yang tertulis dan tidak tertulis’ banyak tafsiran yang
beredar dalam memory kesadaran karena kadar yang tak menentu bila diterima oleh
masing-masing individu. Belum juga sampai disitu komando yang berubah-ubah
layaknya sedang diterpa badai dan harus siap untuk dihempas seremuk-remuknya.
Gelombang itu juga tak reda-reda karena ‘beda otak beda aturan’ hingga membuat
bala tentara kalang kabut menyesuaikan dan akhirnya hanya pura-pura tak
mendengar pun menjadi solusi atas ketidaksepakatan para jendral perang. Ingin
berlari tapi terjegal, ingin terbang tapi remuk sayap, ingin berkendara tapi
tertabrak. Diam hanya dianggap belatung dan bergerak hanya dianggap racun
semprot yang harus dihindari secepat kilat. Ingin tak ada komando dari jendral?
Itu tak mungkin karena aturan para jendral itu dibuat seketat mungkin untuk memiminimalisir
pembangkangan. Bagaimana tidak, sudah ada peraturan saja banyak tejadi
pelanggaran apalagi tidak ada peraturan apa bedanya manusia dengan hewan yang
bahkan hewanpun juga punya peraturan yang tak kita mengerti. Tapi bala tentara
masih menunggu satu suara dengan penuh loyalitas tanpa ‘kepentingan’.
Menutup mata mncoba merasa hasil kerja keras namun apalah daya yang
terasa hanya kepahitan tanpa merasa manis dari buah yang ditanam. Karena merasa
yang terdapat di bumi tanpa ingat ada yang masih di langit. Hingga sang pemilik
lupa merawat kepunyaan dan berteriak saat tak ada lagi yang bisa dijual. Walau
sebenarnya yang lain mencoba memperhatikan tapi apalah mereka hanya setengah
mendengar. Dan akhirnya hanya pertanyaan kenapa menanam bila tak percaya akan
berbuah? mengapa memberi menjanjikan surga tanpa memberi tangga untuk bala
tentara? Mengapa mendongak langit sedang bumi tak menerima?
Namun pergerakan masih tetap diusahakan dengan sang komandan
‘alternatif’ yang terikat dengan batin dan berdarah bersaa dalam satu bantaian.
Karena mencoba kuat tanpa topangan, karena bernafas tanpa udara. Bukan lari
tapi hadapi, bukan bersorak dalam kebodohan tapi menggunakan kekuatan ekstra
untuk mencoba. Mencoba meraih dan mempertahankan ‘keharusan’. Karena masih ada
Tuhan yang memeluk erat tanpa pernah melepaskan.
UNPUT makin ketat ya nyonya....?? masih bisa bertahan...??
ReplyDeletebertahan kini menjadi sebuah keharusan, dan yang dilakukan itu bukan meratapi keadaan tapi memperbaiki keadaan
DeleteBoleh kritik tulisan ini gak...?
ReplyDeletekamu sudah mengkritiknya kmrn..
Deletetapi silahkan saja