Tuntutlah ilmu
sampai negri cina,mungkin itu
pepatah kuno yang telah mulai menjamur di telinga masyarakat. Tak sedikit dari
mereka yang menafsirkannya dengan salah. Kini sekolah jauh dari rumah sudah
menjadi tren dalam kalangan masyarakat. Tak sedikit saat mereka ditanya alasan
mereka untuk tidak sekolah di daerah asalnya salah satunya alasan yang sangat
kompleks yaitu karena tak ada sekolah yang berkualitas di tempatnya atau
mungkin alasan yang agak mengada-ada yaitu ‘gengsi’ bila tak sekolah
jauh dari rumah. Mungkin mereka berhak mempunyai alasan yang menurut mereka
benar tapi parahnya dari suatu kenyataan yang bangsa kita alami adalah tak
sedikit dari instansi pendidikan yang memiliki mutu yang terbaik adalah
instansi yang di kelola oleh swasta atau cabang sekolah milik luar negri.
Sungguh tragis realita keadaan dunia
pendidikan Indonesia dan pemikiran-pemikiran autis yang berkembang di kalangan
masyarat kita. Disisi lain perkembangan mutu sekolah-sekolah yang ada di
indonesia belum menemukan titik terang hingga saat ini walau telah mengalami perubahan-perubahan
kurikulum yang sering dilakukan dengan seiring bergantinya pemerintahan.
Herliyati menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal
beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964),
pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses
(1984 dan 1994), kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006), Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan yang terakhir adalah Kurikulum 2013. Menurut Einser (Bafadal, 2007), Ada lima fungsi evaluasi
pendidikan Mendiagnosis, merevisi kurikulum, membandingkan, mengantisipasi
kebutuhan pendidikan, dan menentukan apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai.
Jadi perevisian kurikulum yang dilakukan untuk mencari standart mutu
pendidikan yang layak katanya.
Padahal kurikulum sekolah yang baik
dapat menjadi latar belakang pendidikan yang baik pula bagi anak bangsa karena
seseorang yang menuntut ilmu diwaktu kecil seperti mengukir di atas batu sedang
saat ia mencari ilmu diwaktu besar bagai mengukir di atas air. Sehingga bagi
sebagian orang tua yang ingin pendidikan terbaik bagi putranya harus mengirim para
anak bangsa yang berpotensi lebih untuk
berhijrah ke negri orang demi mendapat ilmu yang di harapkan dan ironisnya tak
sedikit dari mereka yang ‘kecantol’ di negri orang bak kacang lupa
kulitnya karena penghargaan lebih yang mereka dapatkan ataupun karena saat dia
kembali masyarakat pun enggan mengakui keahliannya hingga akhirnya mereka
kembali ke negri orang lagi. Telah banyak cendekiawan yang mengalami seperti
itu misalnya mantan presiden RI ke-dua yang tak diterima terlalu baik saat
sekembalinya beliau dari jerman padahal negeri tempat beliau berhijrah yaitu pemerintah
Jerman sangat menghargai apa yang beliau lakukan dengan kemampuannya di bidang
teknologi.
Memang ini semua telah menjadi
dilema anak bangsa kita hingga saat ini. Disatu sisi mutu pendidikan dini yang
belum bisa menjadi pondasi terbaik hingga harus berpikir jika mereka tetap
berdiam di tempat terlalu lama tanpa merubah sistem untuk menjadi sistem yang
mumpuni bagi bursa kerja dunia layaknya air yang menggenang lama di suatu
kubangan hingga rasanyapun menjadi tidak baik seperti dalam kata-kata mutiara
arab ‘innii raaytu wuquufa-l-maaiyufsiduhu# in saala thoba wa in lam yajri
lam yatib’ dan disisi lain saat mereka berhijrah entah ke negri nan jauh
disana untuk belajar, walau mungkin dengan niatan untuk kembali dan membangun
negara. Pengakuan itupun tak kunjung datang bila menggunakan politik bersih
tanpa uang dan koneksi yang berbicara.
Entah kapan negri kita akan menemukan
masa keemasannya di dalam dunia pendidikan. Kita sebagai pelajar tiang negara
harus mulai memikirkan semua itu sedini mungkin agar saat kita berada di posisi
mereka yang berkuasa nanti dapat memperbaiki dan membangun negri ini menjadi
lebih baik lagi. Harapan itu masih ada selama kita masih mengusahakan
harapan-harapan itu terwujud.
0 comments:
Post a Comment