Dalam dunia ku dan dunia mu yang bernama dunia pesantren mungkin
terdapat banyak hal yang tak dapat terdefinisikan dan sulit untuk
diterjemahkan. Karena kalangan yang pernah menginjak dunia pesantren saja
terkadang masih minim pemahaman apalagi untuk kalangan umum. Namun begitulah
dunia kita, penuh dengan hikmah yang tak kasat mata. Melihat dari hal kecil dan
pertama kali aku selalu pertanyakan saat menginjak dunia itu di instansi
tertentu. Terkadang aku sendiri bertanya, kenapa kata ‘keadilan’ tidak ada
dalam sintesa pondok? Kenapa dia tidak ada di dalam panca jiwa? Lalu kalau kita
mau memandang lebih luas lagi, kenapa dalam pancasila keadilan dinomor
akhirkan, kenapa tidak ditengah atau dinomor awal? Banyak pertanyaan yang
muncul dan itu semua pernah muncul dalam benakku sendiri karena saat itu aku
belum memiliki kapasitas untuk memahami, aku masih belum bisa tuk mengerti dan
pasti saat itu tak mengetahui proses yang telah dijalani untuk mencapai pada
titik itu. Aku disaat itu hanya seorang yang buta, hanya bermodal lilin kecil
yang mungkin saja lilin kecil itu bisa membakar diriku sendiri sewaktu-waktu.
Aku disaat itu hanya seorang yang memiliki pemikiran praktis dan realistis
dengan zaman yang pernah aku jalani. Namun akhirnya jawaban itu datang saat
Pekan Perkenalan Khutbat-l-‘Arsy yang ada di setiap awal tahun.
Saat aku menginjak bangku perkuliahan saat ada orang yang
bertanya dengan yang sama atas apa yang aku pertanyakan dulu, tiba-tiba
teringat kalimat,” Quis custodiet ipsos custodes? siapa yang mengawasi
pengawas?” dari novel Digital Fotress yang pertama kali aku baca saat duduk
dibangku sekolah menengah. Ternyata bermakna dalam dan dapat menimbulkan
berbagai pertanyaan bagi beberapa orang yang belum memahami maknanya tapi aku
tak menyalahkan orang yang belum paham itu. Dilema memang mengingat kalimat
bahwa tak ada manusia yang sempurna. Namun semua itu kembali pada kesadaran
setiap manusia karena hidup layaknya mengayuh sepeda kalau kita berhenti maka
akan jatuh. Semua manusia memiliki pertanggungjawaban kehidupan dan memiliki
catatan baik-buruk, hitam-putih dan sebagainya. Lantas sampai kapan dan
bagaimana seorang pengawas harus diawasi? Tentunya seorang pengawas diawasi
dengan aturan Allah sang pemilik alam ini yang Maha Adil.
Lalu saat kita sudah mengetahui makna adil (baca:hak) lantas sudah
sejauh manakah kita menjalankan kewajiban? Lantas saat kita sudah mulai bertanya, apakah
orang lain telah melakukan hal yang sama, apakah kita sudah bertanya pada diri
kita kebaikan yang kita lakukan sebenarnya untuk siapa? Untuk orang lainkah
atau untuk diri sendirikah atau mungkin untuk kepentingan bersama? Lantas
apakah harus menunggu sempurna untuk mengingatkan sesama? apakah orang yang
mempunyai banyak dosa, lantas gugur sudah kewajibannya untuk menasehati orang? Insya'
Allah tidak karena mengingkatkan sesama adalah kewajiban dari setiap saudara
seiman.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang
melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya
satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan
orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang
siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di
dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu
suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An
Nawawi hadits ke 36).
Kita mungkin pernah mengalami fase merasa paling sengsara yang mana
hingga terkadang kita lupa bersyukur dan hanya melihat kehidupan dari satu sisi
saja. Padahal dunia ini terlalu indah untuk hanya dilihat dari satu sisi. Maka saudariku
sebaiknya kita mulailah berhati-hati dalam menerka sebuah kalimat. Mulailah
menganalisa dan bertanya pada hati kecil kita agar kita tak tersesat karena ego
yang menguasai akal sehat dan nafsu belaka. Mungkin kesadaran perlu dihidupkan karena ada hal yang dilakukan demi maslahah (kebersamaan) yang mana sebuah maslahah itu adalah hal yang sangat mahal dan tak terbeli.