Mungkin tak ada yang salah hingga saat ini. Aku melihat lagi
cacatanku waktu KMI yang membawa ku ke masa lalu. Masa yang sekarang aku
tertawakan karena aku berbuat sesuatu yang aneh dulu. Ini coretanku dulu. Waktu
galau-galaunya pas temen-temen SMP ku mau UN SMA
‘Aku Bukan Seorang Putih Abu-abu’
Bukan seragam putih abu-abu yang ku pakai, bukan juga gelar menjadi
seorang siswi SMA yang ku sandang. Bukan pelajaran umum yang ku pelajari, bukan
juga kelas IPA, IPS ataupun Bahasa yang ku dalami. Bukan rasa seorang anak yang
bertambah dewasa yang ku rasa. Bukan urusan besok mau berkegiatan apa ataupun
hang out kemana yang ku pikirkan. Semua tak ku rasa, semua tak pernah ku jamah
karena memang semuanya tlah berbeda.
Aku bukan seorang putih abu-abu. Aku mendapatka gelar santriwati. Pelajaran
berjurusan akhiratpun yang ku pelajari. Ilmu agama yang sedang ku dalami. Tak mungkin
ku berfikir tuk berkegiatan apa besok. Karena banyak kegiatan dalam waktu
singkat telah menanti. Hanya satu cap yang selalu nempel di jidatku,’anak
taksivi, eah buku pegangannya’
Yayaya memang saat itu rasanya pusing sekali dengan pelajaran yang
tak pernah ku mengerti apa keguannaannya. Tapi saat sekarang aku sering menoleh
ke belakang, malah aku sekarang bisa bersyukur karena pernah hidup dikehidupan
yang tak banyak anak sebayaku dulu pilih. Yah untuk hidup jauh dari orang tua
dan jauh terasing di tempat yang tak pernah aku kenal. Bahkan orang tuaku pun
tak pernah mengenal yang namanya dunia pesantren.
Ternyata saat kelulusan bukan hanya aku yang bersyukur (bersyukur karena sebentar lagi kembali ke dunia nyataku#rencana cuma ngabdi), orang
tuakupun ikut bersyukur. Dengan kalimat mereka saat mendengarku mendapat tempat
pengabdian sebagai mahasiswi murni. Dan kalian tahu apa kalimat mereka pertama
kali? “Alhamdulillah, do’a bapak dan ibu terkabul”(#berfikir tentang kalimat ortu). Sempat shock sesaat kayak
di sambar petir tapi sesaatnya sampek satu semester lebih. Nilaiku entahlah tak
karuan saat itu. Itu tamparan pertamaku karena sebenarnya hingga kelulusanku
aku belum terima dengan jalan hidupku yang berbeda dengan teman dan
saudara-saudariku.
Tapi ternyata Allah memberiku tamparan sekali lagi atas ketidak syukuranku. Melalui temanku
yang baru pulang ke rumahnya yang ada di malang. Saat dia di kereta ada orang
menannyainya.”Dari pondok ya dek” temenku langsung jawab “iya”. Trus si
mas-masnya tanya lagi,”kenapa sekolah di pondok dek? Disuruh orang tua y..”dengan
sedikit nada meledek pada temanku. Temanku diam sesaat lalu berkata,”enggak,
itu keinginan sendiri, yah apa salahnya menyisihkan sedikit dari umur kita
untuk hidup di pondok dan mempelajari ilmu Allah?”. Kata temenku sih dia
langsung di kasih tepuk tangan dan perkataan 'awesome' ama masnya setelah menjawab seperti itu. Dan aku
juga melakukan itu untuknya.
Kini aku sadar, memang tak ada salahnya aku tak merasakan seperti
apa yang di rasakan teman SMP ku dulu. Memang tak ada salahnya mempelajari ilmu
Allah yang belum tentu orang cerdas bisa menjiwainya. Bukan hanya sekedar tahu
tapi paham dan menjalaninya. Memang tak ada salahnya hidup di miniatur
masyarakat kecil untuk membangun masyarakat besar yang lebih baik. Memang tak
ada salahnya mempelajari ilmu keikhlasan dan kesabaran yang tak ada di
kurikulum Indonesia. Memang tak ada salahnya mencoba memandang dunia dari sisi
lain.
Semuanya tlah menjadi kesyukuran yang tak terhingga. Karena aku
pernah menjadi bagian dari Gontor. Yang akan melanjutkan syiar agama denga ilmu
yang tela ku dapat. Walau mungkin hanya sedikit. Tapi mungkin itu akan berharga
bagi orang lain. Alhamdulillah..
0 comments:
Post a Comment