Berilmu untuk beramal

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Kebersamaan akan melahirkan sebuah kekuatan

caturrinistories@gmail.com

Perjuangan meraih S.Farm

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Tuesday 2 June 2015

Takdir yang Mengantarkanku

Tak pernah ku duga, aku bisa menyelesaikan pendidikan yang berlatar belakang ‘Pesantren’. Padahal dari orang tua ataupun sanak saudara tak ada satupun yang pernah tahu bahkan menginjakkan kaki di pesantren apalagi ‘Pesantren Modern’. Sebenarnya aku sudah mempunyai kemauan untuk melanjutkan pendidikanku ke pesantren setelah SD tapi apalah daya, orang tua tak mengijinkan saat itu. Bapak hanya mengatakan nanti saja kamu kesana setelah MTs. Padahal gurunya bapak sudah datang ke rumah dan menyatakan siap buat nganter ke pondok yang namanya ‘Gontor’. Nama yang asing dan aneh saat mendengarnya. Gontor? Apaan tuh? Yah walau bertanya-tanya apaan tuh, tapi saat itu aku niat banget kesana karena beberapa cerita selentingan yang aku dengar tentang pondok yang namanya Gontor itu.
Namun takdir berkata lain, saat si bapak tak setuju aku melanjutkan ke pesantren ternyata beliau sudah mempersiapkan yang lain. Aku di daftarkan kelas unggulan di SMPN setempat padahal aku pengennya ke MTsN Kota. Yah walau memang itu SMP hitungannya udah bergengsi di daerah kediri tapi kalau sebenernya gak pengen ya mau gimana lagi. Akirnya aku ikut juga test itu dengan syarat aku juga boleh ikut test di MTsN yang aku inginkan dan kalau aku diterima di MTsN itu, aku akan melepas SMPN (kalau ketrima). Ternyata Waktu test usai keesokan harinya langsung pengumuman penerimaan dan di hari esok juga terakhir pendaftaran ke MTsN. Entah mungkin takdir berkata lain lagi, sebenarnya formulir sudah terbeli dan terisi lengkap semuanya siap tinggal mengembalikan formulir saja. Tapi saat sudah siap buat ke MTsN itu, saat itu juga semua perlengkapan itu lenyap entah kemana. Padahal rumah sudah diacak-acak habis-habisan buat nemuin itu dokumen dan akhirnya kalimat ‘ya sudahlah’ pun muncul karena endingnya aku diterima di SMPN itu.
Dan waktupun terus berjalan, setahun dua tahun di SMP saat ditanya temen.... jawabannya yang pasti lanjut ke ‘Pondok’ tapi saat kelas 9 semua itu mulai berubah. Tak ada lagi keinginan melanjutkan ke pondok sama sekali bahkan saat teman-teman berkata kalau aku calon anak pondokan ada rasa dongkol yang tersimpan di hati. Saat ketidak inginanku ini aku ungkap ke bapak, bapak langsung marah dan mendiamkanku dua hari. Serem deh kalau sudah begitu, mending kalau marahnya langsung ngomel-ngomel kayak ibu jadi tau apa yang harus dibenerrin. Lha ini si bapak diem doang, jadi hidup terasa tak nyaman di rumah. Tapi entahlah kenapa bisa berubah sedrastis itu tentang tujuan sekolahku, tapi yang pasti saat itu tujuanku hanya SMA.
Saat selesai UN SMP, semua teman-temanku sibuk bolak-balik ke kota untuk mengurus semua yang dibutuhkan untuk masuk SMA-SMA bergengsi didaerah kota. Mulai dari formulir dan perlenkapannya hingga surat rekomendasi dari DIKNAS kabupaten untuk bisa melanjutkan di kota. Akupun juga tak ingin ketinggalan ancang-ancang dengan daftar sebagai salah satu pencari surat rekomendasi. SMA 2 pun menjadi tujuan, tapi saat meminta ijin pada bapak kalimat apa yang keluar?! “kalau kamu gak mau ke Gontor kamu gak usah ke SMA kamu bolehnya masuk MAN”. Yah, it’s oke.. aku turuti kemauan bapak dengan harus banting setir lagi ganti haluan ke MAN kota. Sebenernya gak terlalu Interest sih karena satu almamater dengan kakak sulung dan kakak kedua karena pasti akan dibanding-bandingkan seperti aku di SMP yang notabene almamaternya kakakku yang ketiga but okelah yang penting gak ke Gontor.
Ambil formulir, isi terus di kumpulin lagi yes fix, kali ini pasti sukses sekolah di kota hihihi... Tapi sehari menjelang ujian... saat ngobrol santai dengan ibu dan kakak, tiba-tiba mereka menyebut lagi yang namanya ‘Pesantren’. Oh.. ternyata ada udah di balik batu di obrolan hari itu kataku dalam hati tapi aku hanya mencoba biasa saat itu. Sudah ngobrol kesana-kemari dan akhirnya  kata itupun keluar. Kata yang membuat aku beku sesaat, ‘Rin, sebenernya bapakmu pengen salah satu anak bapak masuk ke pondok’ nah itu kalimat yang disampaikan ibu padaku saat itu. Hanya diam yang bisa kulakukan, ‘bapak pengen salah satu anak bapak masuk ke pondok??!’. Kata itu terus-terusan aku olah dalam otakku, siapa lagi kalau bukan aku yang bisa memenuhi harapannya, karena tak mungkin kan kakak-kakaku sedang mereka saja sudah sarjana semua saat itu. Aku sebagai anak bungsu dari ke empat bersaudara harus berpikir lagi tentang keinginanku. Apakah aku tega membiarkan begitu saja keinginan bapak yang telah memberikan segalanya pada anaknya? Dan akhirnya jawabannypun tidak, baiklah aku mencoba mengambil kesempatan untuk mewujudkan salah satu harapan bapakku. Tapi masih dengan syarat, aku tetap ikut test di MAN dan itupun disetujui.
Hari testpun dimulai, aku mengerjakan dengan seadanya saja karena aku berpikir untuk apa aku terlalu serius dengan ini toh aku hanya mencoba-coba. Hasil pengumumanpun bisa dilihat online atau langsung di sekolahan tapi hari itu aku demam tinggi hingga tak bisa melihat pengumuman itu padahal teman seperjuanganku sudah menjemput untuk melihat pengumuman. Akhirnya aku hanya mendapat kabar kalau ternyata aku diterima di MAN itu. Yah tapi tetap ke perjanjian awal, test itu hanya coba-coba dan Gontorlah tempat yang akan aku pijak untuk mencari ilmu.

Memang benar tak peduli seberapa kuatnya kita ingin dan kita tak ingin kan sesuatu. Saat Allah berkata, jalan kita harus di situ sebagai hamba kita  hanya bisa mencoba untuk menjalaninya dan mecari jawaban kenapa Allah membuat kita harus berpijak disitu. Begitupun aku, aku mencoba mencari jawaban kenapa Allah menempatkanku di suatu tempat yang bernama ‘Pondok’ padahal aku sudah sempat berpikir itu bukan salah satu dari takdirku. Mengambil setiap pelajaran atas apa yang telah terjadi, itu membuatku berpikir lebih dalam. Bila ada keinginan harus dipikirkan apakah aku membutuhkan. Bila ada kesalahan, bukan untuk dilupakan tapi sebagai guru untuk masa depan dan bila ada kebahagiaan itu membuatku harus selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan.

Tuesday 2 June 2015

Takdir yang Mengantarkanku

Tak pernah ku duga, aku bisa menyelesaikan pendidikan yang berlatar belakang ‘Pesantren’. Padahal dari orang tua ataupun sanak saudara tak ada satupun yang pernah tahu bahkan menginjakkan kaki di pesantren apalagi ‘Pesantren Modern’. Sebenarnya aku sudah mempunyai kemauan untuk melanjutkan pendidikanku ke pesantren setelah SD tapi apalah daya, orang tua tak mengijinkan saat itu. Bapak hanya mengatakan nanti saja kamu kesana setelah MTs. Padahal gurunya bapak sudah datang ke rumah dan menyatakan siap buat nganter ke pondok yang namanya ‘Gontor’. Nama yang asing dan aneh saat mendengarnya. Gontor? Apaan tuh? Yah walau bertanya-tanya apaan tuh, tapi saat itu aku niat banget kesana karena beberapa cerita selentingan yang aku dengar tentang pondok yang namanya Gontor itu.
Namun takdir berkata lain, saat si bapak tak setuju aku melanjutkan ke pesantren ternyata beliau sudah mempersiapkan yang lain. Aku di daftarkan kelas unggulan di SMPN setempat padahal aku pengennya ke MTsN Kota. Yah walau memang itu SMP hitungannya udah bergengsi di daerah kediri tapi kalau sebenernya gak pengen ya mau gimana lagi. Akirnya aku ikut juga test itu dengan syarat aku juga boleh ikut test di MTsN yang aku inginkan dan kalau aku diterima di MTsN itu, aku akan melepas SMPN (kalau ketrima). Ternyata Waktu test usai keesokan harinya langsung pengumuman penerimaan dan di hari esok juga terakhir pendaftaran ke MTsN. Entah mungkin takdir berkata lain lagi, sebenarnya formulir sudah terbeli dan terisi lengkap semuanya siap tinggal mengembalikan formulir saja. Tapi saat sudah siap buat ke MTsN itu, saat itu juga semua perlengkapan itu lenyap entah kemana. Padahal rumah sudah diacak-acak habis-habisan buat nemuin itu dokumen dan akhirnya kalimat ‘ya sudahlah’ pun muncul karena endingnya aku diterima di SMPN itu.
Dan waktupun terus berjalan, setahun dua tahun di SMP saat ditanya temen.... jawabannya yang pasti lanjut ke ‘Pondok’ tapi saat kelas 9 semua itu mulai berubah. Tak ada lagi keinginan melanjutkan ke pondok sama sekali bahkan saat teman-teman berkata kalau aku calon anak pondokan ada rasa dongkol yang tersimpan di hati. Saat ketidak inginanku ini aku ungkap ke bapak, bapak langsung marah dan mendiamkanku dua hari. Serem deh kalau sudah begitu, mending kalau marahnya langsung ngomel-ngomel kayak ibu jadi tau apa yang harus dibenerrin. Lha ini si bapak diem doang, jadi hidup terasa tak nyaman di rumah. Tapi entahlah kenapa bisa berubah sedrastis itu tentang tujuan sekolahku, tapi yang pasti saat itu tujuanku hanya SMA.
Saat selesai UN SMP, semua teman-temanku sibuk bolak-balik ke kota untuk mengurus semua yang dibutuhkan untuk masuk SMA-SMA bergengsi didaerah kota. Mulai dari formulir dan perlenkapannya hingga surat rekomendasi dari DIKNAS kabupaten untuk bisa melanjutkan di kota. Akupun juga tak ingin ketinggalan ancang-ancang dengan daftar sebagai salah satu pencari surat rekomendasi. SMA 2 pun menjadi tujuan, tapi saat meminta ijin pada bapak kalimat apa yang keluar?! “kalau kamu gak mau ke Gontor kamu gak usah ke SMA kamu bolehnya masuk MAN”. Yah, it’s oke.. aku turuti kemauan bapak dengan harus banting setir lagi ganti haluan ke MAN kota. Sebenernya gak terlalu Interest sih karena satu almamater dengan kakak sulung dan kakak kedua karena pasti akan dibanding-bandingkan seperti aku di SMP yang notabene almamaternya kakakku yang ketiga but okelah yang penting gak ke Gontor.
Ambil formulir, isi terus di kumpulin lagi yes fix, kali ini pasti sukses sekolah di kota hihihi... Tapi sehari menjelang ujian... saat ngobrol santai dengan ibu dan kakak, tiba-tiba mereka menyebut lagi yang namanya ‘Pesantren’. Oh.. ternyata ada udah di balik batu di obrolan hari itu kataku dalam hati tapi aku hanya mencoba biasa saat itu. Sudah ngobrol kesana-kemari dan akhirnya  kata itupun keluar. Kata yang membuat aku beku sesaat, ‘Rin, sebenernya bapakmu pengen salah satu anak bapak masuk ke pondok’ nah itu kalimat yang disampaikan ibu padaku saat itu. Hanya diam yang bisa kulakukan, ‘bapak pengen salah satu anak bapak masuk ke pondok??!’. Kata itu terus-terusan aku olah dalam otakku, siapa lagi kalau bukan aku yang bisa memenuhi harapannya, karena tak mungkin kan kakak-kakaku sedang mereka saja sudah sarjana semua saat itu. Aku sebagai anak bungsu dari ke empat bersaudara harus berpikir lagi tentang keinginanku. Apakah aku tega membiarkan begitu saja keinginan bapak yang telah memberikan segalanya pada anaknya? Dan akhirnya jawabannypun tidak, baiklah aku mencoba mengambil kesempatan untuk mewujudkan salah satu harapan bapakku. Tapi masih dengan syarat, aku tetap ikut test di MAN dan itupun disetujui.
Hari testpun dimulai, aku mengerjakan dengan seadanya saja karena aku berpikir untuk apa aku terlalu serius dengan ini toh aku hanya mencoba-coba. Hasil pengumumanpun bisa dilihat online atau langsung di sekolahan tapi hari itu aku demam tinggi hingga tak bisa melihat pengumuman itu padahal teman seperjuanganku sudah menjemput untuk melihat pengumuman. Akhirnya aku hanya mendapat kabar kalau ternyata aku diterima di MAN itu. Yah tapi tetap ke perjanjian awal, test itu hanya coba-coba dan Gontorlah tempat yang akan aku pijak untuk mencari ilmu.

Memang benar tak peduli seberapa kuatnya kita ingin dan kita tak ingin kan sesuatu. Saat Allah berkata, jalan kita harus di situ sebagai hamba kita  hanya bisa mencoba untuk menjalaninya dan mecari jawaban kenapa Allah membuat kita harus berpijak disitu. Begitupun aku, aku mencoba mencari jawaban kenapa Allah menempatkanku di suatu tempat yang bernama ‘Pondok’ padahal aku sudah sempat berpikir itu bukan salah satu dari takdirku. Mengambil setiap pelajaran atas apa yang telah terjadi, itu membuatku berpikir lebih dalam. Bila ada keinginan harus dipikirkan apakah aku membutuhkan. Bila ada kesalahan, bukan untuk dilupakan tapi sebagai guru untuk masa depan dan bila ada kebahagiaan itu membuatku harus selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan.