Berilmu untuk beramal

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Kebersamaan akan melahirkan sebuah kekuatan

caturrinistories@gmail.com

Perjuangan meraih S.Farm

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Wednesday 2 December 2015

(bisa) Merangkul Langit?

Mencoba mencerna kata-kata mereka, yang terkadang menggunakan bahasa langit sehingga harus di terjemahkan oleh sang ahli. Mencoba untuk memahami keadaan yang terkadang langit pun ikut menangis bersama. Mencari sandaran namun mereka malah lari tunggang langgang dan meninggalkan kami dengan Tuhan. Tak ada yang salah karena memang tak perlu ada yang dipersalahkan. Tak perlu terlalu berharap keajaiban akan datang karena mereka membuka mata tanpa mencoba tuk menatap. Peraturan hanya tinggalah peraturan yang harus dijalani dari atasan. Tuntutan hanya sekedar tuntutan tanpa ada tindakan. Dan tagihan hak pun juga hanya tinggal tagihan tanpa ada penyelesaian. Namun terkadang aku harus berpikir ulang saat keadaan menempatkan pada sebuah ‘keterpurukan’ bahkan mendorongku kedalam jurang.
Sebuah peraturan yang selalu membuat pertanyaan, dalam kalimat ‘segala peraturan ada yang tertulis dan tidak tertulis’ banyak tafsiran yang beredar dalam memory kesadaran karena kadar yang tak menentu bila diterima oleh masing-masing individu. Belum juga sampai disitu komando yang berubah-ubah layaknya sedang diterpa badai dan harus siap untuk dihempas seremuk-remuknya. Gelombang itu juga tak reda-reda karena ‘beda otak beda aturan’ hingga membuat bala tentara kalang kabut menyesuaikan dan akhirnya hanya pura-pura tak mendengar pun menjadi solusi atas ketidaksepakatan para jendral perang. Ingin berlari tapi terjegal, ingin terbang tapi remuk sayap, ingin berkendara tapi tertabrak. Diam hanya dianggap belatung dan bergerak hanya dianggap racun semprot yang harus dihindari secepat kilat. Ingin tak ada komando dari jendral? Itu tak mungkin karena aturan para jendral itu dibuat seketat mungkin untuk memiminimalisir pembangkangan. Bagaimana tidak, sudah ada peraturan saja banyak tejadi pelanggaran apalagi tidak ada peraturan apa bedanya manusia dengan hewan yang bahkan hewanpun juga punya peraturan yang tak kita mengerti. Tapi bala tentara masih menunggu satu suara dengan penuh loyalitas tanpa ‘kepentingan’.
Menutup mata mncoba merasa hasil kerja keras namun apalah daya yang terasa hanya kepahitan tanpa merasa manis dari buah yang ditanam. Karena merasa yang terdapat di bumi tanpa ingat ada yang masih di langit. Hingga sang pemilik lupa merawat kepunyaan dan berteriak saat tak ada lagi yang bisa dijual. Walau sebenarnya yang lain mencoba memperhatikan tapi apalah mereka hanya setengah mendengar. Dan akhirnya hanya pertanyaan kenapa menanam bila tak percaya akan berbuah? mengapa memberi menjanjikan surga tanpa memberi tangga untuk bala tentara? Mengapa mendongak langit sedang bumi tak menerima?

Namun pergerakan masih tetap diusahakan dengan sang komandan ‘alternatif’ yang terikat dengan batin dan berdarah bersaa dalam satu bantaian. Karena mencoba kuat tanpa topangan, karena bernafas tanpa udara. Bukan lari tapi hadapi, bukan bersorak dalam kebodohan tapi menggunakan kekuatan ekstra untuk mencoba. Mencoba meraih dan mempertahankan ‘keharusan’. Karena masih ada Tuhan yang memeluk erat tanpa pernah melepaskan.

Wednesday 2 December 2015

(bisa) Merangkul Langit?

Mencoba mencerna kata-kata mereka, yang terkadang menggunakan bahasa langit sehingga harus di terjemahkan oleh sang ahli. Mencoba untuk memahami keadaan yang terkadang langit pun ikut menangis bersama. Mencari sandaran namun mereka malah lari tunggang langgang dan meninggalkan kami dengan Tuhan. Tak ada yang salah karena memang tak perlu ada yang dipersalahkan. Tak perlu terlalu berharap keajaiban akan datang karena mereka membuka mata tanpa mencoba tuk menatap. Peraturan hanya tinggalah peraturan yang harus dijalani dari atasan. Tuntutan hanya sekedar tuntutan tanpa ada tindakan. Dan tagihan hak pun juga hanya tinggal tagihan tanpa ada penyelesaian. Namun terkadang aku harus berpikir ulang saat keadaan menempatkan pada sebuah ‘keterpurukan’ bahkan mendorongku kedalam jurang.
Sebuah peraturan yang selalu membuat pertanyaan, dalam kalimat ‘segala peraturan ada yang tertulis dan tidak tertulis’ banyak tafsiran yang beredar dalam memory kesadaran karena kadar yang tak menentu bila diterima oleh masing-masing individu. Belum juga sampai disitu komando yang berubah-ubah layaknya sedang diterpa badai dan harus siap untuk dihempas seremuk-remuknya. Gelombang itu juga tak reda-reda karena ‘beda otak beda aturan’ hingga membuat bala tentara kalang kabut menyesuaikan dan akhirnya hanya pura-pura tak mendengar pun menjadi solusi atas ketidaksepakatan para jendral perang. Ingin berlari tapi terjegal, ingin terbang tapi remuk sayap, ingin berkendara tapi tertabrak. Diam hanya dianggap belatung dan bergerak hanya dianggap racun semprot yang harus dihindari secepat kilat. Ingin tak ada komando dari jendral? Itu tak mungkin karena aturan para jendral itu dibuat seketat mungkin untuk memiminimalisir pembangkangan. Bagaimana tidak, sudah ada peraturan saja banyak tejadi pelanggaran apalagi tidak ada peraturan apa bedanya manusia dengan hewan yang bahkan hewanpun juga punya peraturan yang tak kita mengerti. Tapi bala tentara masih menunggu satu suara dengan penuh loyalitas tanpa ‘kepentingan’.
Menutup mata mncoba merasa hasil kerja keras namun apalah daya yang terasa hanya kepahitan tanpa merasa manis dari buah yang ditanam. Karena merasa yang terdapat di bumi tanpa ingat ada yang masih di langit. Hingga sang pemilik lupa merawat kepunyaan dan berteriak saat tak ada lagi yang bisa dijual. Walau sebenarnya yang lain mencoba memperhatikan tapi apalah mereka hanya setengah mendengar. Dan akhirnya hanya pertanyaan kenapa menanam bila tak percaya akan berbuah? mengapa memberi menjanjikan surga tanpa memberi tangga untuk bala tentara? Mengapa mendongak langit sedang bumi tak menerima?

Namun pergerakan masih tetap diusahakan dengan sang komandan ‘alternatif’ yang terikat dengan batin dan berdarah bersaa dalam satu bantaian. Karena mencoba kuat tanpa topangan, karena bernafas tanpa udara. Bukan lari tapi hadapi, bukan bersorak dalam kebodohan tapi menggunakan kekuatan ekstra untuk mencoba. Mencoba meraih dan mempertahankan ‘keharusan’. Karena masih ada Tuhan yang memeluk erat tanpa pernah melepaskan.