Berilmu untuk beramal

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Kebersamaan akan melahirkan sebuah kekuatan

caturrinistories@gmail.com

Perjuangan meraih S.Farm

http://caturrinihistories.blogspot.co.id

Wednesday 18 January 2017

(Bisakah) Membangun Generasi yang Cerdas dan Beridentitas?


Apa lagi ini? Diskriminasi bentuk apalagi ini? Mungkin salah satu ekspresi kalimat yang lumrah atas sebuah perubahan baru dan perlakuan yang ‘terlihat’ tak setara atas suatu kedudukan yang ‘terlihat’ sama. Namum semua itu bukan masanya lagi jalan di tempat dan meratap atas sebuah perubahan yang mungkin hanya karena kita belum terbiasa. Kini hanya perlu melangkah walau dengan langkah-langkah kecil agar selalu berjalan dengan raihan-raihan  emas yang tak kasat mata untuk masa depan.
Bagiku ini pemberian sebuah identitas pada seorang anak yang baru terlahir walau ‘sedikit’ terlambat. Mungkin kita bisa melihat ke masa lalu, bukankah dulu saat Gontor Purti berdiri dia tak serta merta mendapatkan dengan kekhasannya yaitu kerudung putih dengan design elegannya? Dia melalui proses trial and errornya. Menurut cerita, dulu mereka pernah menggunakan kerudung berwarna-warni lalu setelah itu hanya warna tertentu yang diperbolehkan hingga akhirnya dia mulai menemukan corak yang menurutnya pas untuk digunakan menjadi sebuah identitas.
Hingga lahir anak perempuan yang baru yang juga lahir dari ibu yang sama dalam tingkat perguruan tingginya dengan gelar ‘full time student’nya. Sistem dan pergerakan yang terus dibentuk serta pencarian sesuatu yang disebut sebagai sebuah identitas atau tanda pengenal terus digali. UNIDA Kampus Putri pun telah melalui apa yang namanya trial and errornya. Menurut pengalaman, saat ditahun pertama kami pernah mendapat kerudung krem namun belum standart namun setelah melalui diskusi panjang akhirnya kami kembali ‘meminjam’ identitas saudara sekandung kami. Setelah itu ada masa dimana kami menunggu identitas kami muncul hingga akhirnya pin berlambang unida pun muncul dan berakhir setelah identitas baru kami lahir.
Banyak pertanyaan yang muncul, kenapa mereka tidak berganti juga? Apa identitas mereka yang jau disana dengan gelar sama yang disandangnya dengan kami? Aku mencari-cari dan bertanya pada diri sendiri banyak sangkalan dan pembetulan yang muncul dan berkecamuk bahkan hingga masuk ke dalam mimpi (hahaha maaf alay tapi nyata). Jawaban-jawaban yang mungkin terkadang terlihat mengada-ada, jawaban dari karena mereka masih terikat sampai pada tempat main yang berbeda muncul ada ‘dugaan’ atas jawaban.
Namun sudahlah terlalu indah kehidupan ini bila dilihat ‘hanya’ dalam satu sisi saja. Kini kita sudah beridentitas, lalu bisakah kita menjadi generasi yang cerdas? Ini bukan tentang angkatan tapi ini tentang apa yang akan kita sandang dan labelkan pada kehidupan kampus kita. Jika kita ingin menjadi sebuah kebanggaan maka kita harus bisa membangun kebiasaan/adat yang baik, mengatur seluruh langkah kita dan meminimalisir adat yang buruk dengan mengadakan kegiatan bersifat kebersamaan agar seluruhnya dalam rel yang sama dan untuk meminimalisir orang-orang yang keluar rel. Kita hidup dalam suatu rumah yang setiap harinya ada kereta lewat namun kita akan tetap tidur dengan tenang walau kereta lewat karena kita tahu kereta itu ada lintasannya.  

Maka jangan sampai menjadi generasi yang turun kualitasnya karena pola pikir pragmatis. Jangan menjadi generasi suka mengeluh yang selalu merasa paling terjatuh. Jangan jadi generasi yang bertindak tanpa sebuah analisa. Bila ada yang menjatuhkan maka bangkitlah. Bila ada yang mencela cernalah dan analisalah pasti akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir. Bukankah seorang mahasiswi itu belajar dalam taraf analisa? Bukankah seorang mahasiswi itu bisa menjabarkan yang pendek dan meringkas yang panjang? Maka jika mereka tak menjelaskan maka cari jawaban dalam diri atau sekitar karena pasti ada jawabnnya dalam diri dan sekitar kita namun terkadang kita pura-pura tak mengenal saat jawaban itu bertandang. Maka jadilah mahasiswi yang terus berkarya dan meneliti karena dengan meneliti, lahirlah karya pengabdian, dan bermunculanlah tunas tunas baru ilmu pengetahuan dan maka jadilah ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Serta ingat setiap pundak kita, kita membawaa nama kita, almamater, bangsa dan agama kita.
#wallahua'lambishowab#ussikumwaiyyayanafsi

Monday 2 January 2017

Kenapa? (Menelaah kembali 1)

Dalam dunia ku dan dunia mu yang bernama dunia pesantren mungkin terdapat banyak hal yang tak dapat terdefinisikan dan sulit untuk diterjemahkan. Karena kalangan yang pernah menginjak dunia pesantren saja terkadang masih minim pemahaman apalagi untuk kalangan umum. Namun begitulah dunia kita, penuh dengan hikmah yang tak kasat mata. Melihat dari hal kecil dan pertama kali aku selalu pertanyakan saat menginjak dunia itu di instansi tertentu. Terkadang aku sendiri bertanya, kenapa kata ‘keadilan’ tidak ada dalam sintesa pondok? Kenapa dia tidak ada di dalam panca jiwa? Lalu kalau kita mau memandang lebih luas lagi, kenapa dalam pancasila keadilan dinomor akhirkan, kenapa tidak ditengah atau dinomor awal? Banyak pertanyaan yang muncul dan itu semua pernah muncul dalam benakku sendiri karena saat itu aku belum memiliki kapasitas untuk memahami, aku masih belum bisa tuk mengerti dan pasti saat itu tak mengetahui proses yang telah dijalani untuk mencapai pada titik itu. Aku disaat itu hanya seorang yang buta, hanya bermodal lilin kecil yang mungkin saja lilin kecil itu bisa membakar diriku sendiri sewaktu-waktu. Aku disaat itu hanya seorang yang memiliki pemikiran praktis dan realistis dengan zaman yang pernah aku jalani. Namun akhirnya jawaban itu datang saat Pekan Perkenalan Khutbat-l-‘Arsy yang ada di setiap awal tahun.
Saat aku menginjak bangku perkuliahan saat ada orang yang bertanya dengan yang sama atas apa yang aku pertanyakan dulu, tiba-tiba teringat kalimat,” Quis custodiet ipsos custodes? siapa yang mengawasi pengawas?” dari novel Digital Fotress yang pertama kali aku baca saat duduk dibangku sekolah menengah. Ternyata bermakna dalam dan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa orang yang belum memahami maknanya tapi aku tak menyalahkan orang yang belum paham itu. Dilema memang mengingat kalimat bahwa tak ada manusia yang sempurna. Namun semua itu kembali pada kesadaran setiap manusia karena hidup layaknya mengayuh sepeda kalau kita berhenti maka akan jatuh. Semua manusia memiliki pertanggungjawaban kehidupan dan memiliki catatan baik-buruk, hitam-putih dan sebagainya. Lantas sampai kapan dan bagaimana seorang pengawas harus diawasi? Tentunya seorang pengawas diawasi dengan aturan Allah sang pemilik alam ini yang Maha Adil.
Lalu bagaimana saat kita ingin melihat keadilan yang nyata? Mari kita menelaah kembali apa makna adil itu sendiri (lihat http://caturrinihistories.blogspot.co.id/2016/03/mencoba-mencari-makna-adil.html)
Lalu saat kita sudah mengetahui makna adil (baca:hak) lantas sudah sejauh manakah kita menjalankan kewajiban?  Lantas saat kita sudah mulai bertanya, apakah orang lain telah melakukan hal yang sama, apakah kita sudah bertanya pada diri kita kebaikan yang kita lakukan sebenarnya untuk siapa? Untuk orang lainkah atau untuk diri sendirikah atau mungkin untuk kepentingan bersama? Lantas apakah harus menunggu sempurna untuk mengingatkan sesama? apakah orang yang mempunyai banyak dosa, lantas gugur sudah kewajibannya untuk menasehati orang? Insya' Allah tidak karena mengingkatkan sesama adalah kewajiban dari setiap saudara seiman.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).


Kita mungkin pernah mengalami fase merasa paling sengsara yang mana hingga terkadang kita lupa bersyukur dan hanya melihat kehidupan dari satu sisi saja. Padahal dunia ini terlalu indah untuk hanya dilihat dari satu sisi. Maka saudariku sebaiknya kita mulailah berhati-hati dalam menerka sebuah kalimat. Mulailah menganalisa dan bertanya pada hati kecil kita agar kita tak tersesat karena ego yang menguasai akal sehat dan nafsu belaka. Mungkin kesadaran perlu dihidupkan karena ada hal yang dilakukan demi maslahah (kebersamaan) yang mana sebuah maslahah itu adalah hal yang sangat mahal dan tak terbeli.

Wednesday 18 January 2017

(Bisakah) Membangun Generasi yang Cerdas dan Beridentitas?


Apa lagi ini? Diskriminasi bentuk apalagi ini? Mungkin salah satu ekspresi kalimat yang lumrah atas sebuah perubahan baru dan perlakuan yang ‘terlihat’ tak setara atas suatu kedudukan yang ‘terlihat’ sama. Namum semua itu bukan masanya lagi jalan di tempat dan meratap atas sebuah perubahan yang mungkin hanya karena kita belum terbiasa. Kini hanya perlu melangkah walau dengan langkah-langkah kecil agar selalu berjalan dengan raihan-raihan  emas yang tak kasat mata untuk masa depan.
Bagiku ini pemberian sebuah identitas pada seorang anak yang baru terlahir walau ‘sedikit’ terlambat. Mungkin kita bisa melihat ke masa lalu, bukankah dulu saat Gontor Purti berdiri dia tak serta merta mendapatkan dengan kekhasannya yaitu kerudung putih dengan design elegannya? Dia melalui proses trial and errornya. Menurut cerita, dulu mereka pernah menggunakan kerudung berwarna-warni lalu setelah itu hanya warna tertentu yang diperbolehkan hingga akhirnya dia mulai menemukan corak yang menurutnya pas untuk digunakan menjadi sebuah identitas.
Hingga lahir anak perempuan yang baru yang juga lahir dari ibu yang sama dalam tingkat perguruan tingginya dengan gelar ‘full time student’nya. Sistem dan pergerakan yang terus dibentuk serta pencarian sesuatu yang disebut sebagai sebuah identitas atau tanda pengenal terus digali. UNIDA Kampus Putri pun telah melalui apa yang namanya trial and errornya. Menurut pengalaman, saat ditahun pertama kami pernah mendapat kerudung krem namun belum standart namun setelah melalui diskusi panjang akhirnya kami kembali ‘meminjam’ identitas saudara sekandung kami. Setelah itu ada masa dimana kami menunggu identitas kami muncul hingga akhirnya pin berlambang unida pun muncul dan berakhir setelah identitas baru kami lahir.
Banyak pertanyaan yang muncul, kenapa mereka tidak berganti juga? Apa identitas mereka yang jau disana dengan gelar sama yang disandangnya dengan kami? Aku mencari-cari dan bertanya pada diri sendiri banyak sangkalan dan pembetulan yang muncul dan berkecamuk bahkan hingga masuk ke dalam mimpi (hahaha maaf alay tapi nyata). Jawaban-jawaban yang mungkin terkadang terlihat mengada-ada, jawaban dari karena mereka masih terikat sampai pada tempat main yang berbeda muncul ada ‘dugaan’ atas jawaban.
Namun sudahlah terlalu indah kehidupan ini bila dilihat ‘hanya’ dalam satu sisi saja. Kini kita sudah beridentitas, lalu bisakah kita menjadi generasi yang cerdas? Ini bukan tentang angkatan tapi ini tentang apa yang akan kita sandang dan labelkan pada kehidupan kampus kita. Jika kita ingin menjadi sebuah kebanggaan maka kita harus bisa membangun kebiasaan/adat yang baik, mengatur seluruh langkah kita dan meminimalisir adat yang buruk dengan mengadakan kegiatan bersifat kebersamaan agar seluruhnya dalam rel yang sama dan untuk meminimalisir orang-orang yang keluar rel. Kita hidup dalam suatu rumah yang setiap harinya ada kereta lewat namun kita akan tetap tidur dengan tenang walau kereta lewat karena kita tahu kereta itu ada lintasannya.  

Maka jangan sampai menjadi generasi yang turun kualitasnya karena pola pikir pragmatis. Jangan menjadi generasi suka mengeluh yang selalu merasa paling terjatuh. Jangan jadi generasi yang bertindak tanpa sebuah analisa. Bila ada yang menjatuhkan maka bangkitlah. Bila ada yang mencela cernalah dan analisalah pasti akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir. Bukankah seorang mahasiswi itu belajar dalam taraf analisa? Bukankah seorang mahasiswi itu bisa menjabarkan yang pendek dan meringkas yang panjang? Maka jika mereka tak menjelaskan maka cari jawaban dalam diri atau sekitar karena pasti ada jawabnnya dalam diri dan sekitar kita namun terkadang kita pura-pura tak mengenal saat jawaban itu bertandang. Maka jadilah mahasiswi yang terus berkarya dan meneliti karena dengan meneliti, lahirlah karya pengabdian, dan bermunculanlah tunas tunas baru ilmu pengetahuan dan maka jadilah ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Serta ingat setiap pundak kita, kita membawaa nama kita, almamater, bangsa dan agama kita.
#wallahua'lambishowab#ussikumwaiyyayanafsi

Monday 2 January 2017

Kenapa? (Menelaah kembali 1)

Dalam dunia ku dan dunia mu yang bernama dunia pesantren mungkin terdapat banyak hal yang tak dapat terdefinisikan dan sulit untuk diterjemahkan. Karena kalangan yang pernah menginjak dunia pesantren saja terkadang masih minim pemahaman apalagi untuk kalangan umum. Namun begitulah dunia kita, penuh dengan hikmah yang tak kasat mata. Melihat dari hal kecil dan pertama kali aku selalu pertanyakan saat menginjak dunia itu di instansi tertentu. Terkadang aku sendiri bertanya, kenapa kata ‘keadilan’ tidak ada dalam sintesa pondok? Kenapa dia tidak ada di dalam panca jiwa? Lalu kalau kita mau memandang lebih luas lagi, kenapa dalam pancasila keadilan dinomor akhirkan, kenapa tidak ditengah atau dinomor awal? Banyak pertanyaan yang muncul dan itu semua pernah muncul dalam benakku sendiri karena saat itu aku belum memiliki kapasitas untuk memahami, aku masih belum bisa tuk mengerti dan pasti saat itu tak mengetahui proses yang telah dijalani untuk mencapai pada titik itu. Aku disaat itu hanya seorang yang buta, hanya bermodal lilin kecil yang mungkin saja lilin kecil itu bisa membakar diriku sendiri sewaktu-waktu. Aku disaat itu hanya seorang yang memiliki pemikiran praktis dan realistis dengan zaman yang pernah aku jalani. Namun akhirnya jawaban itu datang saat Pekan Perkenalan Khutbat-l-‘Arsy yang ada di setiap awal tahun.
Saat aku menginjak bangku perkuliahan saat ada orang yang bertanya dengan yang sama atas apa yang aku pertanyakan dulu, tiba-tiba teringat kalimat,” Quis custodiet ipsos custodes? siapa yang mengawasi pengawas?” dari novel Digital Fotress yang pertama kali aku baca saat duduk dibangku sekolah menengah. Ternyata bermakna dalam dan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa orang yang belum memahami maknanya tapi aku tak menyalahkan orang yang belum paham itu. Dilema memang mengingat kalimat bahwa tak ada manusia yang sempurna. Namun semua itu kembali pada kesadaran setiap manusia karena hidup layaknya mengayuh sepeda kalau kita berhenti maka akan jatuh. Semua manusia memiliki pertanggungjawaban kehidupan dan memiliki catatan baik-buruk, hitam-putih dan sebagainya. Lantas sampai kapan dan bagaimana seorang pengawas harus diawasi? Tentunya seorang pengawas diawasi dengan aturan Allah sang pemilik alam ini yang Maha Adil.
Lalu bagaimana saat kita ingin melihat keadilan yang nyata? Mari kita menelaah kembali apa makna adil itu sendiri (lihat http://caturrinihistories.blogspot.co.id/2016/03/mencoba-mencari-makna-adil.html)
Lalu saat kita sudah mengetahui makna adil (baca:hak) lantas sudah sejauh manakah kita menjalankan kewajiban?  Lantas saat kita sudah mulai bertanya, apakah orang lain telah melakukan hal yang sama, apakah kita sudah bertanya pada diri kita kebaikan yang kita lakukan sebenarnya untuk siapa? Untuk orang lainkah atau untuk diri sendirikah atau mungkin untuk kepentingan bersama? Lantas apakah harus menunggu sempurna untuk mengingatkan sesama? apakah orang yang mempunyai banyak dosa, lantas gugur sudah kewajibannya untuk menasehati orang? Insya' Allah tidak karena mengingkatkan sesama adalah kewajiban dari setiap saudara seiman.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).


Kita mungkin pernah mengalami fase merasa paling sengsara yang mana hingga terkadang kita lupa bersyukur dan hanya melihat kehidupan dari satu sisi saja. Padahal dunia ini terlalu indah untuk hanya dilihat dari satu sisi. Maka saudariku sebaiknya kita mulailah berhati-hati dalam menerka sebuah kalimat. Mulailah menganalisa dan bertanya pada hati kecil kita agar kita tak tersesat karena ego yang menguasai akal sehat dan nafsu belaka. Mungkin kesadaran perlu dihidupkan karena ada hal yang dilakukan demi maslahah (kebersamaan) yang mana sebuah maslahah itu adalah hal yang sangat mahal dan tak terbeli.