Sunday 29 March 2015

Apa yang salah?


Mungkin tak ada yang salah hingga saat ini. Aku melihat lagi cacatanku waktu KMI yang membawa ku ke masa lalu. Masa yang sekarang aku tertawakan karena aku berbuat sesuatu yang aneh dulu. Ini coretanku dulu. Waktu galau-galaunya pas temen-temen SMP ku mau UN SMA
‘Aku Bukan Seorang Putih Abu-abu’
Bukan seragam putih abu-abu yang ku pakai, bukan juga gelar menjadi seorang siswi SMA yang ku sandang. Bukan pelajaran umum yang ku pelajari, bukan juga kelas IPA, IPS ataupun Bahasa yang ku dalami. Bukan rasa seorang anak yang bertambah dewasa yang ku rasa. Bukan urusan besok mau berkegiatan apa ataupun hang out kemana yang ku pikirkan. Semua tak ku rasa, semua tak pernah ku jamah karena memang semuanya tlah berbeda.
Aku bukan seorang putih abu-abu. Aku mendapatka gelar santriwati. Pelajaran berjurusan akhiratpun yang ku pelajari. Ilmu agama yang sedang ku dalami. Tak mungkin ku berfikir tuk berkegiatan apa besok. Karena banyak kegiatan dalam waktu singkat telah menanti. Hanya satu cap yang selalu nempel di jidatku,’anak taksivi, eah buku pegangannya’
Yayaya memang saat itu rasanya pusing sekali dengan pelajaran yang tak pernah ku mengerti apa keguannaannya. Tapi saat sekarang aku sering menoleh ke belakang, malah aku sekarang bisa bersyukur karena pernah hidup dikehidupan yang tak banyak anak sebayaku dulu pilih. Yah untuk hidup jauh dari orang tua dan jauh terasing di tempat yang tak pernah aku kenal. Bahkan orang tuaku pun tak pernah mengenal yang namanya dunia pesantren.
Ternyata saat kelulusan bukan hanya aku yang bersyukur (bersyukur karena sebentar lagi kembali ke dunia nyataku#rencana cuma ngabdi), orang tuakupun ikut bersyukur. Dengan kalimat mereka saat mendengarku mendapat tempat pengabdian sebagai mahasiswi murni. Dan kalian tahu apa kalimat mereka pertama kali? “Alhamdulillah, do’a bapak dan ibu terkabul”(#berfikir tentang kalimat ortu). Sempat shock sesaat kayak di sambar petir tapi sesaatnya sampek satu semester lebih. Nilaiku entahlah tak karuan saat itu. Itu tamparan pertamaku karena sebenarnya hingga kelulusanku aku belum terima dengan jalan hidupku yang berbeda dengan teman dan saudara-saudariku.
Tapi ternyata Allah memberiku tamparan sekali lagi atas ketidak syukuranku. Melalui temanku yang baru pulang ke rumahnya yang ada di malang. Saat dia di kereta ada orang menannyainya.”Dari pondok ya dek” temenku langsung jawab “iya”. Trus si mas-masnya tanya lagi,”kenapa sekolah di pondok dek? Disuruh orang tua y..”dengan sedikit nada meledek pada temanku. Temanku diam sesaat lalu berkata,”enggak, itu keinginan sendiri, yah apa salahnya menyisihkan sedikit dari umur kita untuk hidup di pondok dan mempelajari ilmu Allah?”. Kata temenku sih dia langsung di kasih tepuk tangan dan perkataan 'awesome' ama masnya setelah menjawab seperti itu. Dan aku juga melakukan itu untuknya.
Kini aku sadar, memang tak ada salahnya aku tak merasakan seperti apa yang di rasakan teman SMP ku dulu. Memang tak ada salahnya mempelajari ilmu Allah yang belum tentu orang cerdas bisa menjiwainya. Bukan hanya sekedar tahu tapi paham dan menjalaninya. Memang tak ada salahnya hidup di miniatur masyarakat kecil untuk membangun masyarakat besar yang lebih baik. Memang tak ada salahnya mempelajari ilmu keikhlasan dan kesabaran yang tak ada di kurikulum Indonesia. Memang tak ada salahnya mencoba memandang dunia dari sisi lain.

Semuanya tlah menjadi kesyukuran yang tak terhingga. Karena aku pernah menjadi bagian dari Gontor. Yang akan melanjutkan syiar agama denga ilmu yang tela ku dapat. Walau mungkin hanya sedikit. Tapi mungkin itu akan berharga bagi orang lain. Alhamdulillah..

0 comments:

Post a Comment

Sunday 29 March 2015

Apa yang salah?


Mungkin tak ada yang salah hingga saat ini. Aku melihat lagi cacatanku waktu KMI yang membawa ku ke masa lalu. Masa yang sekarang aku tertawakan karena aku berbuat sesuatu yang aneh dulu. Ini coretanku dulu. Waktu galau-galaunya pas temen-temen SMP ku mau UN SMA
‘Aku Bukan Seorang Putih Abu-abu’
Bukan seragam putih abu-abu yang ku pakai, bukan juga gelar menjadi seorang siswi SMA yang ku sandang. Bukan pelajaran umum yang ku pelajari, bukan juga kelas IPA, IPS ataupun Bahasa yang ku dalami. Bukan rasa seorang anak yang bertambah dewasa yang ku rasa. Bukan urusan besok mau berkegiatan apa ataupun hang out kemana yang ku pikirkan. Semua tak ku rasa, semua tak pernah ku jamah karena memang semuanya tlah berbeda.
Aku bukan seorang putih abu-abu. Aku mendapatka gelar santriwati. Pelajaran berjurusan akhiratpun yang ku pelajari. Ilmu agama yang sedang ku dalami. Tak mungkin ku berfikir tuk berkegiatan apa besok. Karena banyak kegiatan dalam waktu singkat telah menanti. Hanya satu cap yang selalu nempel di jidatku,’anak taksivi, eah buku pegangannya’
Yayaya memang saat itu rasanya pusing sekali dengan pelajaran yang tak pernah ku mengerti apa keguannaannya. Tapi saat sekarang aku sering menoleh ke belakang, malah aku sekarang bisa bersyukur karena pernah hidup dikehidupan yang tak banyak anak sebayaku dulu pilih. Yah untuk hidup jauh dari orang tua dan jauh terasing di tempat yang tak pernah aku kenal. Bahkan orang tuaku pun tak pernah mengenal yang namanya dunia pesantren.
Ternyata saat kelulusan bukan hanya aku yang bersyukur (bersyukur karena sebentar lagi kembali ke dunia nyataku#rencana cuma ngabdi), orang tuakupun ikut bersyukur. Dengan kalimat mereka saat mendengarku mendapat tempat pengabdian sebagai mahasiswi murni. Dan kalian tahu apa kalimat mereka pertama kali? “Alhamdulillah, do’a bapak dan ibu terkabul”(#berfikir tentang kalimat ortu). Sempat shock sesaat kayak di sambar petir tapi sesaatnya sampek satu semester lebih. Nilaiku entahlah tak karuan saat itu. Itu tamparan pertamaku karena sebenarnya hingga kelulusanku aku belum terima dengan jalan hidupku yang berbeda dengan teman dan saudara-saudariku.
Tapi ternyata Allah memberiku tamparan sekali lagi atas ketidak syukuranku. Melalui temanku yang baru pulang ke rumahnya yang ada di malang. Saat dia di kereta ada orang menannyainya.”Dari pondok ya dek” temenku langsung jawab “iya”. Trus si mas-masnya tanya lagi,”kenapa sekolah di pondok dek? Disuruh orang tua y..”dengan sedikit nada meledek pada temanku. Temanku diam sesaat lalu berkata,”enggak, itu keinginan sendiri, yah apa salahnya menyisihkan sedikit dari umur kita untuk hidup di pondok dan mempelajari ilmu Allah?”. Kata temenku sih dia langsung di kasih tepuk tangan dan perkataan 'awesome' ama masnya setelah menjawab seperti itu. Dan aku juga melakukan itu untuknya.
Kini aku sadar, memang tak ada salahnya aku tak merasakan seperti apa yang di rasakan teman SMP ku dulu. Memang tak ada salahnya mempelajari ilmu Allah yang belum tentu orang cerdas bisa menjiwainya. Bukan hanya sekedar tahu tapi paham dan menjalaninya. Memang tak ada salahnya hidup di miniatur masyarakat kecil untuk membangun masyarakat besar yang lebih baik. Memang tak ada salahnya mempelajari ilmu keikhlasan dan kesabaran yang tak ada di kurikulum Indonesia. Memang tak ada salahnya mencoba memandang dunia dari sisi lain.

Semuanya tlah menjadi kesyukuran yang tak terhingga. Karena aku pernah menjadi bagian dari Gontor. Yang akan melanjutkan syiar agama denga ilmu yang tela ku dapat. Walau mungkin hanya sedikit. Tapi mungkin itu akan berharga bagi orang lain. Alhamdulillah..

No comments:

Post a Comment