Wednesday 18 January 2017

(Bisakah) Membangun Generasi yang Cerdas dan Beridentitas?


Apa lagi ini? Diskriminasi bentuk apalagi ini? Mungkin salah satu ekspresi kalimat yang lumrah atas sebuah perubahan baru dan perlakuan yang ‘terlihat’ tak setara atas suatu kedudukan yang ‘terlihat’ sama. Namum semua itu bukan masanya lagi jalan di tempat dan meratap atas sebuah perubahan yang mungkin hanya karena kita belum terbiasa. Kini hanya perlu melangkah walau dengan langkah-langkah kecil agar selalu berjalan dengan raihan-raihan  emas yang tak kasat mata untuk masa depan.
Bagiku ini pemberian sebuah identitas pada seorang anak yang baru terlahir walau ‘sedikit’ terlambat. Mungkin kita bisa melihat ke masa lalu, bukankah dulu saat Gontor Purti berdiri dia tak serta merta mendapatkan dengan kekhasannya yaitu kerudung putih dengan design elegannya? Dia melalui proses trial and errornya. Menurut cerita, dulu mereka pernah menggunakan kerudung berwarna-warni lalu setelah itu hanya warna tertentu yang diperbolehkan hingga akhirnya dia mulai menemukan corak yang menurutnya pas untuk digunakan menjadi sebuah identitas.
Hingga lahir anak perempuan yang baru yang juga lahir dari ibu yang sama dalam tingkat perguruan tingginya dengan gelar ‘full time student’nya. Sistem dan pergerakan yang terus dibentuk serta pencarian sesuatu yang disebut sebagai sebuah identitas atau tanda pengenal terus digali. UNIDA Kampus Putri pun telah melalui apa yang namanya trial and errornya. Menurut pengalaman, saat ditahun pertama kami pernah mendapat kerudung krem namun belum standart namun setelah melalui diskusi panjang akhirnya kami kembali ‘meminjam’ identitas saudara sekandung kami. Setelah itu ada masa dimana kami menunggu identitas kami muncul hingga akhirnya pin berlambang unida pun muncul dan berakhir setelah identitas baru kami lahir.
Banyak pertanyaan yang muncul, kenapa mereka tidak berganti juga? Apa identitas mereka yang jau disana dengan gelar sama yang disandangnya dengan kami? Aku mencari-cari dan bertanya pada diri sendiri banyak sangkalan dan pembetulan yang muncul dan berkecamuk bahkan hingga masuk ke dalam mimpi (hahaha maaf alay tapi nyata). Jawaban-jawaban yang mungkin terkadang terlihat mengada-ada, jawaban dari karena mereka masih terikat sampai pada tempat main yang berbeda muncul ada ‘dugaan’ atas jawaban.
Namun sudahlah terlalu indah kehidupan ini bila dilihat ‘hanya’ dalam satu sisi saja. Kini kita sudah beridentitas, lalu bisakah kita menjadi generasi yang cerdas? Ini bukan tentang angkatan tapi ini tentang apa yang akan kita sandang dan labelkan pada kehidupan kampus kita. Jika kita ingin menjadi sebuah kebanggaan maka kita harus bisa membangun kebiasaan/adat yang baik, mengatur seluruh langkah kita dan meminimalisir adat yang buruk dengan mengadakan kegiatan bersifat kebersamaan agar seluruhnya dalam rel yang sama dan untuk meminimalisir orang-orang yang keluar rel. Kita hidup dalam suatu rumah yang setiap harinya ada kereta lewat namun kita akan tetap tidur dengan tenang walau kereta lewat karena kita tahu kereta itu ada lintasannya.  

Maka jangan sampai menjadi generasi yang turun kualitasnya karena pola pikir pragmatis. Jangan menjadi generasi suka mengeluh yang selalu merasa paling terjatuh. Jangan jadi generasi yang bertindak tanpa sebuah analisa. Bila ada yang menjatuhkan maka bangkitlah. Bila ada yang mencela cernalah dan analisalah pasti akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir. Bukankah seorang mahasiswi itu belajar dalam taraf analisa? Bukankah seorang mahasiswi itu bisa menjabarkan yang pendek dan meringkas yang panjang? Maka jika mereka tak menjelaskan maka cari jawaban dalam diri atau sekitar karena pasti ada jawabnnya dalam diri dan sekitar kita namun terkadang kita pura-pura tak mengenal saat jawaban itu bertandang. Maka jadilah mahasiswi yang terus berkarya dan meneliti karena dengan meneliti, lahirlah karya pengabdian, dan bermunculanlah tunas tunas baru ilmu pengetahuan dan maka jadilah ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Serta ingat setiap pundak kita, kita membawaa nama kita, almamater, bangsa dan agama kita.
#wallahua'lambishowab#ussikumwaiyyayanafsi

1 comment:

  1. Good luck! Never give up! Even i ever regreted of my choice,,, but,, that's destiny

    ReplyDelete

Wednesday 18 January 2017

(Bisakah) Membangun Generasi yang Cerdas dan Beridentitas?


Apa lagi ini? Diskriminasi bentuk apalagi ini? Mungkin salah satu ekspresi kalimat yang lumrah atas sebuah perubahan baru dan perlakuan yang ‘terlihat’ tak setara atas suatu kedudukan yang ‘terlihat’ sama. Namum semua itu bukan masanya lagi jalan di tempat dan meratap atas sebuah perubahan yang mungkin hanya karena kita belum terbiasa. Kini hanya perlu melangkah walau dengan langkah-langkah kecil agar selalu berjalan dengan raihan-raihan  emas yang tak kasat mata untuk masa depan.
Bagiku ini pemberian sebuah identitas pada seorang anak yang baru terlahir walau ‘sedikit’ terlambat. Mungkin kita bisa melihat ke masa lalu, bukankah dulu saat Gontor Purti berdiri dia tak serta merta mendapatkan dengan kekhasannya yaitu kerudung putih dengan design elegannya? Dia melalui proses trial and errornya. Menurut cerita, dulu mereka pernah menggunakan kerudung berwarna-warni lalu setelah itu hanya warna tertentu yang diperbolehkan hingga akhirnya dia mulai menemukan corak yang menurutnya pas untuk digunakan menjadi sebuah identitas.
Hingga lahir anak perempuan yang baru yang juga lahir dari ibu yang sama dalam tingkat perguruan tingginya dengan gelar ‘full time student’nya. Sistem dan pergerakan yang terus dibentuk serta pencarian sesuatu yang disebut sebagai sebuah identitas atau tanda pengenal terus digali. UNIDA Kampus Putri pun telah melalui apa yang namanya trial and errornya. Menurut pengalaman, saat ditahun pertama kami pernah mendapat kerudung krem namun belum standart namun setelah melalui diskusi panjang akhirnya kami kembali ‘meminjam’ identitas saudara sekandung kami. Setelah itu ada masa dimana kami menunggu identitas kami muncul hingga akhirnya pin berlambang unida pun muncul dan berakhir setelah identitas baru kami lahir.
Banyak pertanyaan yang muncul, kenapa mereka tidak berganti juga? Apa identitas mereka yang jau disana dengan gelar sama yang disandangnya dengan kami? Aku mencari-cari dan bertanya pada diri sendiri banyak sangkalan dan pembetulan yang muncul dan berkecamuk bahkan hingga masuk ke dalam mimpi (hahaha maaf alay tapi nyata). Jawaban-jawaban yang mungkin terkadang terlihat mengada-ada, jawaban dari karena mereka masih terikat sampai pada tempat main yang berbeda muncul ada ‘dugaan’ atas jawaban.
Namun sudahlah terlalu indah kehidupan ini bila dilihat ‘hanya’ dalam satu sisi saja. Kini kita sudah beridentitas, lalu bisakah kita menjadi generasi yang cerdas? Ini bukan tentang angkatan tapi ini tentang apa yang akan kita sandang dan labelkan pada kehidupan kampus kita. Jika kita ingin menjadi sebuah kebanggaan maka kita harus bisa membangun kebiasaan/adat yang baik, mengatur seluruh langkah kita dan meminimalisir adat yang buruk dengan mengadakan kegiatan bersifat kebersamaan agar seluruhnya dalam rel yang sama dan untuk meminimalisir orang-orang yang keluar rel. Kita hidup dalam suatu rumah yang setiap harinya ada kereta lewat namun kita akan tetap tidur dengan tenang walau kereta lewat karena kita tahu kereta itu ada lintasannya.  

Maka jangan sampai menjadi generasi yang turun kualitasnya karena pola pikir pragmatis. Jangan menjadi generasi suka mengeluh yang selalu merasa paling terjatuh. Jangan jadi generasi yang bertindak tanpa sebuah analisa. Bila ada yang menjatuhkan maka bangkitlah. Bila ada yang mencela cernalah dan analisalah pasti akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir. Bukankah seorang mahasiswi itu belajar dalam taraf analisa? Bukankah seorang mahasiswi itu bisa menjabarkan yang pendek dan meringkas yang panjang? Maka jika mereka tak menjelaskan maka cari jawaban dalam diri atau sekitar karena pasti ada jawabnnya dalam diri dan sekitar kita namun terkadang kita pura-pura tak mengenal saat jawaban itu bertandang. Maka jadilah mahasiswi yang terus berkarya dan meneliti karena dengan meneliti, lahirlah karya pengabdian, dan bermunculanlah tunas tunas baru ilmu pengetahuan dan maka jadilah ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Serta ingat setiap pundak kita, kita membawaa nama kita, almamater, bangsa dan agama kita.
#wallahua'lambishowab#ussikumwaiyyayanafsi

1 comment:

  1. Good luck! Never give up! Even i ever regreted of my choice,,, but,, that's destiny

    ReplyDelete