Monday 11 January 2016

Memeluk Angin (1)

Hari ini berdiam melihat langit sore hari di jembatan sebelah asramaku lagi sepertinya telah menjadi ritual wajib yang harus kulakukan disela-sela hiruk pikuk kegiatan sekolah dan asramaku yang tiada ampun menghantui setiap harinya. Kenangan demi kenangan bebas berputar seperti film layar lebar  yang diputar hitam putih. Kangen. Itu sindrom yang selalu aku alami dua tahun terakhir. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mengobati kangenku yang satu ini.
----
“kamu teman waktu taman kanak-kanak ku bukan?” sapa suara yang tak asing lagi bagiku setelah aku sebulan duduk di bangku sekolah menengah pertamaku.
Sambil membenarkan posisi duduk aku hanya mengangguk dan pertanyaan kenapapun meluncur dari mulutku. Tapi dia hanya tertawa renyah dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu bersama sahabatku itu. Iya. Siang itu sahabatku tak kunjung muncul setelah panggilan dari kantor guru bimbingan konseling yang membuatku harus menyusuri jalanan yang panas dan penuh debu itu hanya sendiri dengan sepeda butut yang kubeli hasil dari tabunganku beberapa bulan yang lalu.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Mengikuti les, ekstrakulikuler dan kelas tambahan yang memang menjadi program kelasku. Aku baik-baik saja, hanya saja aku kini terlalu jarang untuk berinteraksi dengan keluarga. Mau diapakan lagi saat subuh aku hanya bertemu dengan ayahku yang selalu rutin membangunkanku saat subuh. Aku tak bertemu dengan ibu, ibu sudah pergi ke pasar untuk menjual hasil yang ada dari sawah sendiri. “hanya sebagai sampingan dan mencari kawan” itu yang selalu ibu  katakan saat aku mulai protes karena tugas dapur berpindah tangan kepadaku. Aku sebenarnya bukan anak tunggal tapi semua saudaraku tak ada di rumah saat aku beranjak SMP. Maka jadilah aku anak tunggal bayangan bagi orang tuaku yang berakibat aku tak inign berlama-lama untuk menyinggahi rumah yang semenjak tiga belas tahun lalu ku tinggali.
Pernah sekali saat kakaku pulang karena liburan semester di kampusnya bertanya padaku, “sebenarnya kamu jarang di rumah itu karena kamu tidak betah bukan?”
Aku hanya mengangkat kedua bibirku dan mengecilkan sudut mata yang selalu mendapat ejekan sipit itu sambil berlalu meninggalkan pertanyaan yang menurutku jawabannya adalah “iya”. Aku selalu berangkat pukul setengah tujuh tepat saat kartun kesayanganku usai tayang. Tak lebih dan tak kurang dan aku selalu pulang menjelang maghrib dengan berbagai kegiatan yang harus aku jalani hingga sesore itu. Ibu pernah protes dengan keadaan ku yang jarang di rumah tapi aku tetap bersikukuh ingin melanjutkan semuanya.
Hari ini seperti biasa aku masuk kelas yang sebenarnya di dominasi oleh kawan lamaku. Bosan tapi mungkin juga tidak. Aku anggap itu kelas reuni yang paling tidak harus aku temui untuk tiga tahun ke depan. Dengan lemah gemuntai aku menyusuri lorong menuju kelasku mengingat hari ini ada test IQ yang di laksankan untuk seluruh anak baru. “Ah paling juga segitu-gitu aja” kutuk ku dalam hati atas acara itu. Aku memang seorang yang biasa-biasa saja diantara teman-temanku yang lain. Mereka sudah seperti langit yang tak mungkin terjamah oleh orang bumi sepertiku.
Hingga beberapa hari setelah acara itu. Ruang guru BK pun lebih ramai dari biasanya, siapa lagi kalau bukan anak kelas ku dan beberapa kelas tetanggaku yang tak sabar untuk melihat hasil kerja otak mereka beberapa hari yang lalu. Aku hanya sempat bertatap muka sekilas dengan dia tepat di depan meja guru BK yang juga sebagai guru di kelasku. Namun aku tak peduli dengan kehadirannya itu, aku mencoba keluar dari sesaknya ruang BK yang sudah mulai berebut oksigen itu. Dan saat itu juga aku merasakan ada sebuah tangan yang meraih pergelangan tanganku hingga menyelamatkanku dari kerumunan semut itu. Belum sempat aku menyadari kejadian apa tadi. Aku sudah dijejali oleh sebuah pertanyaan yang mebuatku hanya bisa menelan ludahku sendiri.
“berapa hasil yang kau dapat?” tanya nya seraya melepaskan tangan yang dari tadi dia bawa keluar dari ruangan yang penuh sesak itu.
“sembilan enam, kamu?” jawabku sambil meyodorkan kertas tepat ke muka dia. Dia hanya tersenyum simpul sambil berkata,"sama”. Seketika itu aku hanya menggelang-geleng tak percaya padanya. Bagaimana mungkin, seorang yang selalu mendapat nilai sempurna tanpa pernah dia terlihat serius di kelas. Seseorang yang semenjak taman kanak-kanak mendapat gelar bintang kelas. Mungkin hanya orang bodoh yang percaya atas penyataannya barusan.
“aku tak percaya”, kataku dengan nada kesal dan mulai beranjak mencari sandaran sambil mencoba untuk merenungi kertas sialan itu. Tiba-tiba secarik kertas lain muncul di depan mataku yang membuatku sedikit terbelalak. “lihat kalau kau tak percaya” katanya sambil mulai melepaskan secarik kertas yang ada di tangan untuk berpindah ke tanganku. “oh” kataku padanya sambil mengembalikan kertas sialan yang kedua itu. Memang harus peduli apa aku dan memang apa porsiku untuk tahu? Ah sudahlah. Dia terlalu tinggi untuk mungkin ku raih.
“ayo ke kantin, aku mau cerita” suara yang sangat aku kenal mengajak untuk menyantap sarapan setengah siangku yang selalu kulakukan setiap ibu tak meninggalkan bahan apapun untuk dimasak. Dan hanya senyum aneh yang aku tinggalkan pada dia dan teman yang ada disampingnya.

bersambung

6 comments:

Monday 11 January 2016

Memeluk Angin (1)

Hari ini berdiam melihat langit sore hari di jembatan sebelah asramaku lagi sepertinya telah menjadi ritual wajib yang harus kulakukan disela-sela hiruk pikuk kegiatan sekolah dan asramaku yang tiada ampun menghantui setiap harinya. Kenangan demi kenangan bebas berputar seperti film layar lebar  yang diputar hitam putih. Kangen. Itu sindrom yang selalu aku alami dua tahun terakhir. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mengobati kangenku yang satu ini.
----
“kamu teman waktu taman kanak-kanak ku bukan?” sapa suara yang tak asing lagi bagiku setelah aku sebulan duduk di bangku sekolah menengah pertamaku.
Sambil membenarkan posisi duduk aku hanya mengangguk dan pertanyaan kenapapun meluncur dari mulutku. Tapi dia hanya tertawa renyah dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu bersama sahabatku itu. Iya. Siang itu sahabatku tak kunjung muncul setelah panggilan dari kantor guru bimbingan konseling yang membuatku harus menyusuri jalanan yang panas dan penuh debu itu hanya sendiri dengan sepeda butut yang kubeli hasil dari tabunganku beberapa bulan yang lalu.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Mengikuti les, ekstrakulikuler dan kelas tambahan yang memang menjadi program kelasku. Aku baik-baik saja, hanya saja aku kini terlalu jarang untuk berinteraksi dengan keluarga. Mau diapakan lagi saat subuh aku hanya bertemu dengan ayahku yang selalu rutin membangunkanku saat subuh. Aku tak bertemu dengan ibu, ibu sudah pergi ke pasar untuk menjual hasil yang ada dari sawah sendiri. “hanya sebagai sampingan dan mencari kawan” itu yang selalu ibu  katakan saat aku mulai protes karena tugas dapur berpindah tangan kepadaku. Aku sebenarnya bukan anak tunggal tapi semua saudaraku tak ada di rumah saat aku beranjak SMP. Maka jadilah aku anak tunggal bayangan bagi orang tuaku yang berakibat aku tak inign berlama-lama untuk menyinggahi rumah yang semenjak tiga belas tahun lalu ku tinggali.
Pernah sekali saat kakaku pulang karena liburan semester di kampusnya bertanya padaku, “sebenarnya kamu jarang di rumah itu karena kamu tidak betah bukan?”
Aku hanya mengangkat kedua bibirku dan mengecilkan sudut mata yang selalu mendapat ejekan sipit itu sambil berlalu meninggalkan pertanyaan yang menurutku jawabannya adalah “iya”. Aku selalu berangkat pukul setengah tujuh tepat saat kartun kesayanganku usai tayang. Tak lebih dan tak kurang dan aku selalu pulang menjelang maghrib dengan berbagai kegiatan yang harus aku jalani hingga sesore itu. Ibu pernah protes dengan keadaan ku yang jarang di rumah tapi aku tetap bersikukuh ingin melanjutkan semuanya.
Hari ini seperti biasa aku masuk kelas yang sebenarnya di dominasi oleh kawan lamaku. Bosan tapi mungkin juga tidak. Aku anggap itu kelas reuni yang paling tidak harus aku temui untuk tiga tahun ke depan. Dengan lemah gemuntai aku menyusuri lorong menuju kelasku mengingat hari ini ada test IQ yang di laksankan untuk seluruh anak baru. “Ah paling juga segitu-gitu aja” kutuk ku dalam hati atas acara itu. Aku memang seorang yang biasa-biasa saja diantara teman-temanku yang lain. Mereka sudah seperti langit yang tak mungkin terjamah oleh orang bumi sepertiku.
Hingga beberapa hari setelah acara itu. Ruang guru BK pun lebih ramai dari biasanya, siapa lagi kalau bukan anak kelas ku dan beberapa kelas tetanggaku yang tak sabar untuk melihat hasil kerja otak mereka beberapa hari yang lalu. Aku hanya sempat bertatap muka sekilas dengan dia tepat di depan meja guru BK yang juga sebagai guru di kelasku. Namun aku tak peduli dengan kehadirannya itu, aku mencoba keluar dari sesaknya ruang BK yang sudah mulai berebut oksigen itu. Dan saat itu juga aku merasakan ada sebuah tangan yang meraih pergelangan tanganku hingga menyelamatkanku dari kerumunan semut itu. Belum sempat aku menyadari kejadian apa tadi. Aku sudah dijejali oleh sebuah pertanyaan yang mebuatku hanya bisa menelan ludahku sendiri.
“berapa hasil yang kau dapat?” tanya nya seraya melepaskan tangan yang dari tadi dia bawa keluar dari ruangan yang penuh sesak itu.
“sembilan enam, kamu?” jawabku sambil meyodorkan kertas tepat ke muka dia. Dia hanya tersenyum simpul sambil berkata,"sama”. Seketika itu aku hanya menggelang-geleng tak percaya padanya. Bagaimana mungkin, seorang yang selalu mendapat nilai sempurna tanpa pernah dia terlihat serius di kelas. Seseorang yang semenjak taman kanak-kanak mendapat gelar bintang kelas. Mungkin hanya orang bodoh yang percaya atas penyataannya barusan.
“aku tak percaya”, kataku dengan nada kesal dan mulai beranjak mencari sandaran sambil mencoba untuk merenungi kertas sialan itu. Tiba-tiba secarik kertas lain muncul di depan mataku yang membuatku sedikit terbelalak. “lihat kalau kau tak percaya” katanya sambil mulai melepaskan secarik kertas yang ada di tangan untuk berpindah ke tanganku. “oh” kataku padanya sambil mengembalikan kertas sialan yang kedua itu. Memang harus peduli apa aku dan memang apa porsiku untuk tahu? Ah sudahlah. Dia terlalu tinggi untuk mungkin ku raih.
“ayo ke kantin, aku mau cerita” suara yang sangat aku kenal mengajak untuk menyantap sarapan setengah siangku yang selalu kulakukan setiap ibu tak meninggalkan bahan apapun untuk dimasak. Dan hanya senyum aneh yang aku tinggalkan pada dia dan teman yang ada disampingnya.

bersambung

6 comments: