Monday 19 January 2015

Buah Simalakama Dunia Pendidikan Indonesia



Tuntutlah ilmu sampai negri cina,mungkin itu pepatah kuno yang telah mulai menjamur di telinga masyarakat. Tak sedikit dari mereka yang menafsirkannya dengan salah. Kini sekolah jauh dari rumah sudah menjadi tren dalam kalangan masyarakat. Tak sedikit saat mereka ditanya alasan mereka untuk tidak sekolah di daerah asalnya salah satunya alasan yang sangat kompleks yaitu karena tak ada sekolah yang berkualitas di tempatnya atau mungkin alasan yang agak mengada-ada yaitu ‘gengsi’ bila tak sekolah jauh dari rumah. Mungkin mereka berhak mempunyai alasan yang menurut mereka benar tapi parahnya dari suatu kenyataan yang bangsa kita alami adalah tak sedikit dari instansi pendidikan yang memiliki mutu yang terbaik adalah instansi yang di kelola oleh swasta atau cabang sekolah milik luar negri.
Sungguh tragis realita keadaan dunia pendidikan Indonesia dan pemikiran-pemikiran autis yang berkembang di kalangan masyarat kita. Disisi lain perkembangan mutu sekolah-sekolah yang ada di indonesia belum menemukan titik terang hingga saat ini walau telah mengalami perubahan-perubahan kurikulum yang sering dilakukan dengan seiring bergantinya pemerintahan. Herliyati menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan yang terakhir  adalah Kurikulum 2013. Menurut Einser (Bafadal, 2007), Ada lima fungsi evaluasi pendidikan Mendiagnosis, merevisi kurikulum, membandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, dan menentukan apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai. Jadi perevisian kurikulum yang dilakukan untuk mencari standart mutu pendidikan yang layak katanya.
Padahal kurikulum sekolah yang baik dapat menjadi latar belakang pendidikan yang baik pula bagi anak bangsa karena seseorang yang menuntut ilmu diwaktu kecil seperti mengukir di atas batu sedang saat ia mencari ilmu diwaktu besar bagai mengukir di atas air. Sehingga bagi sebagian orang tua yang ingin pendidikan terbaik bagi putranya harus mengirim para  anak bangsa yang berpotensi lebih untuk berhijrah ke negri orang demi mendapat ilmu yang di harapkan dan ironisnya tak sedikit dari mereka yang ‘kecantol’ di negri orang bak kacang lupa kulitnya karena penghargaan lebih yang mereka dapatkan ataupun karena saat dia kembali masyarakat pun enggan mengakui keahliannya hingga akhirnya mereka kembali ke negri orang lagi. Telah banyak cendekiawan yang mengalami seperti itu misalnya mantan presiden RI ke-dua yang tak diterima terlalu baik saat sekembalinya beliau dari jerman padahal negeri tempat beliau berhijrah yaitu pemerintah Jerman sangat menghargai apa yang beliau lakukan dengan kemampuannya di bidang teknologi.
Memang ini semua telah menjadi dilema anak bangsa kita hingga saat ini. Disatu sisi mutu pendidikan dini yang belum bisa menjadi pondasi terbaik hingga harus berpikir jika mereka tetap berdiam di tempat terlalu lama tanpa merubah sistem untuk menjadi sistem yang mumpuni bagi bursa kerja dunia layaknya air yang menggenang lama di suatu kubangan hingga rasanyapun menjadi tidak baik seperti dalam kata-kata mutiara arab ‘innii raaytu wuquufa-l-maaiyufsiduhu# in saala thoba wa in lam yajri lam yatib’ dan disisi lain saat mereka berhijrah entah ke negri nan jauh disana untuk belajar, walau mungkin dengan niatan untuk kembali dan membangun negara. Pengakuan itupun tak kunjung datang bila menggunakan politik bersih tanpa uang dan koneksi yang berbicara.
Entah kapan negri kita akan menemukan masa keemasannya di dalam dunia pendidikan. Kita sebagai pelajar tiang negara harus mulai memikirkan semua itu sedini mungkin agar saat kita berada di posisi mereka yang berkuasa nanti dapat memperbaiki dan membangun negri ini menjadi lebih baik lagi. Harapan itu masih ada selama kita masih mengusahakan harapan-harapan itu terwujud.

0 comments:

Post a Comment

Monday 19 January 2015

Buah Simalakama Dunia Pendidikan Indonesia



Tuntutlah ilmu sampai negri cina,mungkin itu pepatah kuno yang telah mulai menjamur di telinga masyarakat. Tak sedikit dari mereka yang menafsirkannya dengan salah. Kini sekolah jauh dari rumah sudah menjadi tren dalam kalangan masyarakat. Tak sedikit saat mereka ditanya alasan mereka untuk tidak sekolah di daerah asalnya salah satunya alasan yang sangat kompleks yaitu karena tak ada sekolah yang berkualitas di tempatnya atau mungkin alasan yang agak mengada-ada yaitu ‘gengsi’ bila tak sekolah jauh dari rumah. Mungkin mereka berhak mempunyai alasan yang menurut mereka benar tapi parahnya dari suatu kenyataan yang bangsa kita alami adalah tak sedikit dari instansi pendidikan yang memiliki mutu yang terbaik adalah instansi yang di kelola oleh swasta atau cabang sekolah milik luar negri.
Sungguh tragis realita keadaan dunia pendidikan Indonesia dan pemikiran-pemikiran autis yang berkembang di kalangan masyarat kita. Disisi lain perkembangan mutu sekolah-sekolah yang ada di indonesia belum menemukan titik terang hingga saat ini walau telah mengalami perubahan-perubahan kurikulum yang sering dilakukan dengan seiring bergantinya pemerintahan. Herliyati menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan yang terakhir  adalah Kurikulum 2013. Menurut Einser (Bafadal, 2007), Ada lima fungsi evaluasi pendidikan Mendiagnosis, merevisi kurikulum, membandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, dan menentukan apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai. Jadi perevisian kurikulum yang dilakukan untuk mencari standart mutu pendidikan yang layak katanya.
Padahal kurikulum sekolah yang baik dapat menjadi latar belakang pendidikan yang baik pula bagi anak bangsa karena seseorang yang menuntut ilmu diwaktu kecil seperti mengukir di atas batu sedang saat ia mencari ilmu diwaktu besar bagai mengukir di atas air. Sehingga bagi sebagian orang tua yang ingin pendidikan terbaik bagi putranya harus mengirim para  anak bangsa yang berpotensi lebih untuk berhijrah ke negri orang demi mendapat ilmu yang di harapkan dan ironisnya tak sedikit dari mereka yang ‘kecantol’ di negri orang bak kacang lupa kulitnya karena penghargaan lebih yang mereka dapatkan ataupun karena saat dia kembali masyarakat pun enggan mengakui keahliannya hingga akhirnya mereka kembali ke negri orang lagi. Telah banyak cendekiawan yang mengalami seperti itu misalnya mantan presiden RI ke-dua yang tak diterima terlalu baik saat sekembalinya beliau dari jerman padahal negeri tempat beliau berhijrah yaitu pemerintah Jerman sangat menghargai apa yang beliau lakukan dengan kemampuannya di bidang teknologi.
Memang ini semua telah menjadi dilema anak bangsa kita hingga saat ini. Disatu sisi mutu pendidikan dini yang belum bisa menjadi pondasi terbaik hingga harus berpikir jika mereka tetap berdiam di tempat terlalu lama tanpa merubah sistem untuk menjadi sistem yang mumpuni bagi bursa kerja dunia layaknya air yang menggenang lama di suatu kubangan hingga rasanyapun menjadi tidak baik seperti dalam kata-kata mutiara arab ‘innii raaytu wuquufa-l-maaiyufsiduhu# in saala thoba wa in lam yajri lam yatib’ dan disisi lain saat mereka berhijrah entah ke negri nan jauh disana untuk belajar, walau mungkin dengan niatan untuk kembali dan membangun negara. Pengakuan itupun tak kunjung datang bila menggunakan politik bersih tanpa uang dan koneksi yang berbicara.
Entah kapan negri kita akan menemukan masa keemasannya di dalam dunia pendidikan. Kita sebagai pelajar tiang negara harus mulai memikirkan semua itu sedini mungkin agar saat kita berada di posisi mereka yang berkuasa nanti dapat memperbaiki dan membangun negri ini menjadi lebih baik lagi. Harapan itu masih ada selama kita masih mengusahakan harapan-harapan itu terwujud.

No comments:

Post a Comment